Mohon tunggu...
Raissa Anita
Raissa Anita Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kedudukan TAP MPR dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

3 Desember 2015   08:16 Diperbarui: 3 Desember 2015   21:22 10407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau yang disingkat TAP MPR, merupakan salah satu wujud peraturan perundang-undangan yang sah dan legitimasinya berlaku di Negara Indonesia. Bahkan didalam hierarki peraturan perundang-undangan, TAP MPR memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan UU, Perpu, PP, Perpres dan Perda. Hal ini ditegaskan dalam pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menegaskan bahwa, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Di dalam Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pertauran Perundang-undangan, TAP MPR tidak dimasukan ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Namun dengan adanya perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, kembali memasukan TAP MPR kedalam hirarki peraturan perundang-undangan.

Dengan dimasukannya TAP MPR kembali ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan berarti segala bentuk ketetapan MPR harus bersifat Pengaturan (Regeling). Sedangkan TAP MPR dalam prakteknya bersifat Penetepan (Beshickking). Misalnya saja Penetapan terhadap Pemberhentian Presiden. Karena di dalam UUD sendiri telah menyebutkan kewenangan MPR untuk memberhentikan Presiden melalui ketetapannya. Otomatis ketetapan tersebut hanya bersifat Penetapan (Beshickking) bukan Pengaturan (Regeling). Walaupun TAP MPR tidak dimasukan ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan bukan berarti meniadakan eksistensi normanya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hanya saja menegaskan sifat TAP MPR yang lebih mengarah terhadap penetapan (Beshickking).

Dengan dimasukkannnya kembali TAP MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan, jelas membawa konsekuensi-konsekuensi logis dalam penataaan sistem hukum Indonesia, baik norma, kedudukan, maupun ruang pengujian akibat pertentangan antara sesama produk perundang-undangan lainnya. Keberadaan Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengakibatkan TAP MPR secara otomatis (ex-officio) menjadi rujukan dalam pembentukan dan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Dalam hal ini UU/Perpu, PP. Perpres, dan Perda. Sedangkan TAP MPR sendiri pengaturannya hanya bersifat kedalam bukan keluar. Karena dalam Sidang Umum MPR tahun 2003, telah diputuskan bahwa TAP MPR tidak lagi mengatur keluar (mengikat publik), namun hanya berlaku bagi intern MPR. Dalam siding umum MPR di tahun 2003 tersebut ditegaskan bahwa, ketentuan yang mengikat publik, harus diimplementasikan melalui produk Undang-Undang.

Dalam amandemen terakhir UUD menegaskan bahwa MPR kini tidak memiliki lagi kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang bersifat mengatur (regeling). Setidaknya terdapat 2 (dua) alasan yang melatar belakanginya, Pertama, perubahan UUD 1945 membawa konsekunsi kewenangan MPR yang tidak lagi dapat membuat ketentuan yang mengatur, kecuali yang bersifat kedalam organ MPR sendiri. Kedua, MPR merupakan lembaga yang dapat dikatakan exist ketika menjalankan fungsi dan kewenangan yang diberikan oleh UUD. Dan kewenangan untuk membentuk UU, tidak lagi tertuang dalam amandemen terakhir UUD.

TAP MPR yang dimaksud lagi dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bisa djabarkan melalui penjelasan pasal tersebut yang mengatakan bahwa, “Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003”. Dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003, telah diputuskan yang mana saja TAP MPR(S) dari total 139 ketetapan sejak tahun 1966 hingga 2002, yang masih berlaku dan tidak berlaku lagi.

Akibat dimasukkannya TAP MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan, maka muncul persoalan dalam hal pengujian norma diantara peraturan perundang-undangan lainnya. Bagaimana jika TAP MPR bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945? Dan bagaimana pula jika terdapat UU yang bertentangan dengan TAP MPR? Jika merunut kepada sistem kekuasaan kehakiman Indonesia dewasa ini, uji materi dibebankan kepada Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi kewenangan Mahkamah Konsitusi sebatas uji materi UU terhadap UUD. Tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tata cara pengujian TAP MPR terhadap UUD atapun UU terhadap TAP MPR. Mahkamah Konstitusi tidak boleh serta merta melakukan pengujian terhadap TAP MPR, kecuali Mahkamah Konstitusi melakukan upaya hokum progresif seperti yang dilakukan selama ini.

Oleh sebab itu, pengujian terhadap TAP MPR terhadap UUD maupun UU terhadap TAP MPR sebagai konsekuensi hierarki perundang-undangan yang diatur dalam 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak memiliki landasan mekanisme atau ketentuan pengujian. Mahkamah Konstitusi tidak serta merta dapat menguji TAP MPR, kecuali TAP MPR yang berdasarkan ketentuan Pasal 4 TAP MPR Nomor I/MPR/2003, yang dipersamakan dengan produk Undang-undang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun