Hari Sabtu ini bukan hari Sabtu biasa. Hari ini tengah berlangsung perang dingin, seisi kelas empat  telah tahu. Semua teman-temanya tentu amat meyesalkan peristiwa ini sampai terjadi.
Sesungguhnya antara Abid dan Hakam telah terjadi hubungan pesahabatan yang amat erat. Keduanya duduk sebangku, pandai dan periang. Tanpa keduanya, barangkali kelas empat tak bakal diperhitungkan dalam kegiatan Sekolah, baik bola kasti, sepak bola maupun atletik. Satu-satunya orang yang barangkali amat bergembira mendengar perselisihan ini adalah aku!
Siapa lagi orangnya yang akan memakai uang kas kelas itu kalu bukan Abid sendiri. Selaku bendara utama kelas, Kam, buktinya kemaren dia membeli Tas Punggung baru’’ ujarku seminggu lalu ketika Hakam mengeluh tentang laporan keuangan kas kelas yang telah hilang dan belum jelas.
Hakam nampaknya amat terpengaruh dengan dugaanku itu, Hmm......siapa tahu’’ desis Hakam,’’sungguh terlalu, pantesan kemarin dia tidak menjawab ketika aku tanya tentang laporan keuangan kelas kita! Aku harus membuat perhitungan! Lanjutnya dengan hati gundah.
‘’Memang sebaiknya  begitu, Kam’’ tukasku memberi semangat’’ bukankah ini juga tanggung jawabmu sebagai ketua kelas, jika memang benar maka nama baikmu sebagai ketua kelas bisa hancur, karena dia bendara dan teman sebangkumu sendiri, bisa bisa kamu dicurigai kerjasama?’’
‘’Aku tidak berbakat untuk korupsi, Rendy,!’’ tukas Hakam Sengit
Maka pertengkaran mulut antara keduanya pun tak terelakkan lagi. Kalau saja pak Wali Kelas tak segera datang melerai, tentu keduanya akan saling baku hantam.
‘’ kalu begitu jelas kalian berdua telah diadu domba oleh seseorang yang tidak senang dengan keakraban kalian berdua’’,  ujar pak Wali kelas setelah mendengar penuturan keduanya. ‘’ Nah, sekarang bermaaf-maafanlah!’’
Keduanya memang saling berjabat tangan, namun tidak berarti telah melupakan persoalan kehilangan itu. Saling curiga mencurigai tetap berlangsung dan dugaan wali kelas sama sekali tak mereka pedulikan.
‘’ Sebaiknya engkau pindah duduk saja, Abid’’, bujukku pagi tadi’’ sungguh tak mengenakkan bukan duduk sebangku dengan permusuhan?’’.
Lanjutku bersungguh-sungguh.