Mohon tunggu...
Rais Muhammad KS
Rais Muhammad KS Mohon Tunggu... Administrasi - seorang guru yang menyukai Hujan, Kopi dan Buku

Menulislah, maka dunia akan mengenalmu, itulah kata ayahku.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Takbir di Ujung Senja {Cerpen Ayah Mulyoto }

29 September 2015   15:52 Diperbarui: 29 September 2015   15:52 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Akhirnya aku pulang juga, Kawan. Mau apalagi, duniaku kini tak lagi menerimaku dengan kerelaan yang kuminta. Aku sudah babak belur karena jatuh ke titik nadir paling bawah, lalu hanya merangkak demi pertahanan hidup belaka. Hidup macam apa ini ketika tiap hari beribu-ribu panah menyerangku dengan kekejaman yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Padahal aku sudah remuk, Kawan. Aku sudah hancur, mau ditikam belati berapa kali lagi agar aku benar-benar menyerah?
Tidak, Kawan. Aku tidak menyerah begitu saja pada nasib yang melemparkanku begitu saja ke dalam kehinaan hanya karena kekhilafan sedikit saja. Memang manusia tidak boleh khilaf? Aku manusia biasa, Kawan. Aku bisa tergoda rayuan setan jahanan lewat gemuruh cinta yang membiusku ke dalam kebahagiaan semu. Kini saat aku sadar, aku telah jatuh ke titik nadir yang sudah kukatakan tadi. Nah, kalau dunia tempatku berpijak kini begitu muak padaku, aku tak punya plihan lain selain yang satu ini: pulang!
Aku pulang untuk menapaki jejak-jejak masa kecilku. Masa di mana ayah ibuku selalu berlimpah kasih sayang padaku. Masa di mana aku bisa mencumbui hujan yang luruh dari langit dengan tarian lonjak-lonjak penuh kegembiraan. Masa itu adalah episode terindah dalam hidupku, dan aku ingin merengkuhnya lagi. Aku ingin kembali tersungkur dalam buaian ibuku dan pasrah dalam peluk perkasa ayahku. Ah, aku benar-benar ingin pulang.
Dua puluh tahun lalu aku pernah melewati jalanan becek ini. Berbekal restu ayah-ibuku, kutantang nasib agar aku tak terbelenggu dalam pusaran arus kemiskinan yang menyiksa.
“Ayah, ibu. Anakmu berangkat. Aku akan mengejar cita-citaku seperti yang ayah-ibu nasehatkan. Jangan pernah takut pada bayang-bayang di tengah kegelapan! Melangkahlah, terus kejar cita-citamu hingga ke puncak pencapaian sebuah kesuksesan!” kata ayah waktu itu.
Sudah berapa kambing milik ayah terjual. Berapa liter keringat ayah menyatu dalam gabah dan jagung telah terperas, semua untuk menebus cita-citaku. Lalu, jarit ibu, yang bermotif batik unik itu pun sudah berapa lembar yang hilang tak tertebus di pegadaian. Aku tak bisa menghitungnya. Lebih-lebih, bait-bait doa yang selalu mengiringiku ke mana pun aku melangkah saat aku mencari ilmu, bagaimana menghitungnya. Komputer pun tak mampu menakar keikhlasan ayah-ibuku memberikan kasih sayangnya kepadaku.
Lalu ketika aku telah sampai di puncak, tiba-tiba ada suara halus memanggilku, menawarkan kemewahan duniawi. Semua seperti hilang begitu saja. Ayah-ibuku tak lagi terlihat bayangannya di mataku. Mataku tersihir oleh kenikmatan yang ternyata hanya sihir jahat yang sengaja mengajakku ke jalan gelap.
Ah, maafkan aku, Ibu! Maafkan aku, ayah! Aku anakkmu. Bagaimana pun juga aku anakmu. Dunia mengutukku sedemikian rupa. Aku ingin bersimpuh di hadapanmu!
Jalan yang berkelok seperti dulu juga. Dua puluh tahun yang lalu seperti kemarin saja. Pohon jambu di depan pos ronda masih seperti yang dulu. Pohon jambu itu masih rimbun dan berbuah lebat dengan ulat gemuk-gemuk di dalamnya. Saat kupetik, rasanya masih sama. Apa arti dua puluh tahun bagi kampung di tepi Gunung Wilis ini. Bukit yang kulihat sekarang juga tetap tidak berubah: berdiri dengan angkuh.
Saat aku kecil, inilah jalanku melarikan diri dari kejaran mandor tebu. Kami waktu kecil bersama teman-teman sebaya biasa mencari tebu di sawah yang disewa oleh pabrik gula. Kalau waktunya tebang tebu, aku, Budi, Mardi, Genduk, dan lain-lain akan mencari batang yang manis itu sebagai salah satu menu makanan kami. Namanya anak-anak, kami suka mencuri-curi tebu yang bagus saat Sang Mandor terlena. Dan ternyata, kadang mandor hanya memancing kami dengan pura-pura terlena. Saat kami mencuri tebu, secepat kilat mandor mengejar kami. Jangan ragukan kecepatan kami lari, Kawan. Kalau mandor lari secepat kilat, kami pun lari berkali-kali lipat darinya dan amblas menyelam di dasar sungai hingga beberapa menit.
“Mana, anak-anak bengal itu?” kata mandor bergumam sambil menahan amarah.
Ya. Jalanan ini, sungai di sisinya, adalah bukti nyata betapa aku telah menjalani pahit getir hidup sebagai anak kampung yang penuh romantika. Terbersit aku ingin kembali merasainya.
Akhirnya, sampai juga aku di depan pintu pagar bambu rumah ayah-ibuku. Dua puluh tahun aku meninggalkan rumah ini, sepertinya tidak ada yang berubah. Dari arah dapur kudengar suara ibuku batuk-batuk. Berarti, asma beliau belum sembuh juga, malah terdengar makin parah. Sedangkan dari dalam rumah kudengar suara ayah mengidungkan Caping Gunung-nya Gesang.
Dek jaman berjuang, njur kelingan anak lanang.
Biyen takopeni, njur saiki opo lali.
Jarene wis menang, keturutan sing digadhang.
Biyen nate janji, ning saiki opo lali.

Neng nggunung, tak cadhongi sego jagung.
Yen mendung, tak silihi caping nggunung.
Sokor bisa nyawang, gunung-desa dadi rejo
Dene ora ilang nggone podho loro lopo.

Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia begini:

Waktu jaman berjuang, lalu teringat anak laki-laki.
Dulu kurawat, lalu sekarang di mana.
Katanya sudah sukses, tercapai yang dicita-citakan.
Dulu pernah berjanji, tapi kini apa lupa.

Di gunung, kusediakan nasi jagung.
Kalau mendung, kupinjami topi gunung.
Bersyukur kalau bisa melihat gunung-desa menjadi ramai.
Juga tidak hilang saat dulu pernah menderita.

Ah, suara serak itu masih seperti dulu. Menerbangkan bau magis yang menina-bobokku saat aku susah tidur. Aku masih bisa merasakan getaran magisnya, dan rasanya aku ingin cepat bersimpuh dalam dekapan kekar tangan ayah.
Tapi, ayah. Apakah ayah masih seperti dua puluh tahun lalu?
Aku seolah mengalami trance, hingga kusadari ada suara memanggilku. “Darto, kamukah itu? Anak lelakiku yang lama telah menghilang?” kata ibuku yang nampak sekali begitu renta.
“Ini aku, ibu. Aku anakmu! Aku pulang, Ibu!” kataku dengan bibir terasa kelu.
“Ya. Kamu anakku. Ibu benar. Ibu selalu benar. Kamu pasti pulang. Sekarang kamu pulang.” Ibuku memelukku lalu mengelus-elus kepalaku, seperti dulu.
Kulihat ayahku tergopoh-gopoh menuju depan rumah dalam temaram matahari senja. Matanya awas menatapku, lalu memelukku juga. Aku tak bisa berkata-kata lagi, air mataku tumpah.
“Tak perlu bicara apa-apa, To. Kamu anakku, kamu anakku. Apa pun yang kau alami, tak usah bercerita. Apa pun kondisimu, seburuk apapun tubuhmu, sedekil apa pun bajumu, kamu tetaplah anakku. Hati ayah-ibu tetap terbuka untukmu, Nak!”
Cahaya matahari senja makin temaram saja, mengantarkan suara adzan dari langgar Pak Modin. Sebentar kemudian suara takbir menggema beralun-alun merdu sekali. Aku kembali menangis, mensyukuri sisa hidup yang masih kurengkuh dalam pelukan kasih ayah-ibuku yang telah renta. Suara takbir itu menggetarkan tubuhku, seluruh tubuhku. Suasana terasa hening, damai.
Rasanya hilang rasa sakit di sekujur tubuhku, lenyap bersama tangisku sebagai bayi yang baru pertama kali melihat dunia.
(Kudedikasikan cerpen ini kepada ayah-ibuku yang tak pernah berhenti dengan doa-doanya untukku).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun