Seperti biasa, Rara. Semua tidak berubah, kian memburuk.
Rara menghelang nafasnya, dia menarik wajahnya dari pandanganku lalu sedetik kemudian dia menundukan kepalanya, "Maaf, aku ikut sedih, Unno." jawab Rara.
Tidak, jangan bersedih, Ra. Ini bukan salahmu.
"Bukan salahku bagaimana, Unno?" tanya Rara yang mulai menghadapkan kepalanya ke arahku.
Ceritaku bukan tanggung jawabmu, semua yang aku jalanin adalah tanggung jawab aku, Rara. Aku tidak ingin kamu bersedih karena sakitku ini, tolong jangan.
"Ceritamu memang tanggung jawabmu, namun maafku karena aku tau batasan antara kita. Batasan yang membuatku tidak dapat memberikan bantuan apapun kepadamu, batasan yang membuatku tidak dapat mendorongmu agar lebih kuat lagi, batasan yang telah membuatku merasakan hal yang sama walau panggungmu bukan panggungku," jelas Rara sambil menatapku yang mulai menundukan kepala mendengar segala kalimatnya, aku tidak paham mengapa tiba-tiba saja mata ini terasa berat.
Rara menggenggam tanganku, "Unno, semua pilihan juga perjalananmu memang bukan tanggung jawabku, tapi jangan pernah kamu merasa sendirian akan segala tanggungan itu. Â Aku di sini bersamamu." ucap Rara, tanganku semakin digengggam erat olehnya.
Ra, bertemu denganmu walaupun hanya sedetik sudah menjadi kebahagiaan besar untukku.
"Unno, apakah itu berlebihan?" Rara melontarkan pertanyaan itu kepadaku sembari menuangkan susu cokelat hangat pada gelas putihku.
Tidak, Ra. Itu semua tidak ada yang berlebihan.
Rara menatap mataku dengan dalam, tatapannya semakin inti dan membuatku terlena sejenak, "Baiklah, Unno. Kamu tau, Â besok Bi Hira akan mengambil libur selama seminggu untuk bertemu keluarganya,"