Ini berarti pada dasarnya keinginan bersifat sementara dan sering kali membawa penderitaan jika tidak tercapai atau hilang. Membebaskan karep berarti tidak lagi menggantungkan kebahagiaan pada terpenuhi atau tidaknya keinginan tersebut. Bukan berarti tidak memiliki keinginan, tetapi tidak terikat atau tergantung pada hasilnya.
Membebaskan karep memiliki tujuan untuk menghindari penderitaan yang timbul dari rasa kecewa (getun), iri (meri), atau khawatir (sumelang) terhadap hal-hal yang belum terjadi. Lalu, mencapai kebebasan batin, di mana seseorang dapat hidup dengan penuh kedamaian tanpa terbelenggu oleh hawa nafsu.
Intersubjektif/menelaah diri secara kognitif melalui dimensi juru catat/jiwa tumbuhan. Catatan jiwa Binatang, kramadangsa egoism, manusia tanpa ciri
Dalam melakukan mawas diri, terdapat beberapa strategi secara intersubjektif atau menelaah diri secara kognitif melalui beberapa dimensi. Ki Ageng menggolongkan kesadaran manusia pada beberapa tingkatan.
- Dimensi I adalah kesadaran sebagai juru catat dalam diri.
- Dimensi II adalah kumpulan catatan-catatan yang dicatat oleh si juru catat.
- Dimensi III adalah kesadaran sebagai si kramadangsa alias pelaksana/pelayan dari seluruh catatan-catatan tersebut.
- Dimensi IV adalah kesadaran puncak manusia menuju kondisi bahagia yang disebut sebagai manusia tanpa ciri.
Sejak bayi, manusia menjadi juru catat atas segala yang terindera lalu mewujud pada keinginan. Ia merekam segala kejadian dan peng'alam'an dalam memori. Menurut Ki Ageng, setidaknya ada 11 jenis catatan yang mendorong manusia bergerak, antara lain harta benda, kehormatan, kekuasaan, keluarga, golongan, kebangsaan, jenis, kepandaian, kebatinan, ilmu pengetahuan, dan rasa hidup. Setiap saat seseorang selalu digerakkan menjadi pelaksana atas catatan-catatan tersebut. Si kramadangsa adalah pelayan bagi tuan-tuan seluruh catatan itu. Dalam catatan 'rasa hidup', misalnya, seorang bayi akan merengek sebagai kode untuk meminta ASI saat merasa haus dan lapar. Persis pada saat itu, catatan 'rasa hidup' si bayi sedang butuh perhatian dan kemudian si kramadangsa dalam diri si bayi akan melayani catatan itu dengan cara mendorong si bayi tadi menangis. Pelaksana catatan inilah yang disebut sebagai si kramadangsa yang ada dalam diri setiap orang. Si kramadangsa selalu saja punya cara untuk melayani catatan-catatan itu.
Selagi seseorang belum mati, kesadaran Dimensi I alias si juru catat dalam diri akan terus melakukan pencatatan dan mengelompokkannya pada 11 jenis catatan tersebut. Sementara kesadaran Dimensi III/si kramadangsa dalam dirinya akan terus melayani seluruh catatan-catatan itu. Begitu seterusnya. Meski seluruh catatan-catatan tersebut bersifat mulur (mengembang)-mungkret (menyusut). Mana dan kapan saja catatan-catatan yang bisa memberi keuntungan dan kenyamanan terbesar bagi diri sendiri yang akan mendapat perhatian lebih besar dari si kramadangsa.
Jika catatan itu diberi perhatian, dihidupi, maka si kramadangsa akan senang. Sebaliknya, jika catatan itu ada yang mengganggu, maka si kramadangsa akan merasa susah, benci, dan marah.
Pada momen seperti inilah seseorang hidup pada kesadaran Dimensi III sebagai 'aku kramadangsa'. Salah satu pijar penting psikologi kawruh jiwa adalah kemampuan mengawasi gerak si kramadangsa terhadap karep/keinginan yang mewujud dalam seluruh catatan tersebut. Kawruh jiwa adalah kemampuan yang akan mengantar manusia menuju kondisi bahagia manusia tanpa ciri. Sebuah kondisi diri yang tidak lagi melekat pada kesadaran Dimensi III/si kramadangsa.
Permisalan lain, dalam catatan 'harta benda'. Ketika seseorang kedapatan barang miliknya dicuri, ia akan merasa sedih dan susah. Sebabnya, catatan 'harta benda' dalam dirinya terganggu. Otomatis akan memerintahkan si kramadangsa dalam dirinya untuk bereaksi. Misalnya, dengan merasa susah dan bahkan marah. Jika kesusahan dan kemarahan tersebut tidak lekas disadari maka akan membuat dirinya menderita. Dalam kasus ini, 'diri' dikuasai oleh si kramadangsa yang sedang diperbudak catatan 'harta benda'.
Kemelekatan rasa kramadangsa dan 'diri' inilah yang menghalangi seseorang menggapai Dimensi IV. Maka, keberhasilan melepas pada yang melekat itu disebut Ki Ageng sebagai pencapaian kondisi manusia tanpa ciri yang tenteram dan bahagia. Kita tahu, setiap hari begitu banyak tumpukan catatan-catatan yang gampang membuat diri kian kalap dan gelap. Maka butuh perjuangan untuk tidak melekat pada itu semua. Oleh karenanya, pencapaian manusia tanpa ciri tidak bisa dengan cara instan. "Kramadangsa dan manusia tanpa ciri lahir silih berganti mengikuti siklus yang abadi". Sebab, kesadaran butuh direngkuh. Setelah diwacanakan ke dalam diri, juga butuh diterapkan dalam pelatihan rutin sehari-hari.