keamanan di Semenanjung Korea telah mengalami pasang surut selama beberapa dekade. Korea Utara telah memulai perkembangan program senjata nuklir serta rudal balistik pada rezim Kim Il Sung di tahun 1984. Pada abad 21 di era Kim Jong Un, ia telah melakukan berbagai macam uji coba rudal serta nuklir yang semakin membuat ricuh keamanan di Semenanjung Korea. Korea Utara kembali meningkatkan ketegangan di awal tahun 2024 dengan menolak upaya reunifikasi dengan Korea Selatan serta meluncurkan rudal balistik di perairan yang berbatasan dengan Korea Selatan serta Jepang sehingga membuat negara tetangga seperti Korea Selatan pun terkejut dan mulai mengevakuasi warga-warga yang tinggal di daerah perbatasan. Respons dari Korea Selatan dan Jepang ialah melakukan latihan militer dengan sekutunya yaitu Amerika Serikat, adapun hal-hal ini membuat terjadinya eskalasi krisis keamanan di Semenanjung Korea.
KrisisHal ini tidak hanya mengancam perdamaian di regional saja, tetapi juga perdamaian global karena negara-negara yang bukan bagian dari Asia Timur pun ikut campur tangan seperti Amerika Serikat yang dapat menimbulkan turut andilnya negara lain, mungkin saja di masa depan nantinya negara-negara yang berseberangan dengan Amerika Serikat akan menjadi oposisi dan mendukung Korea Utara.
Namun, disini akan menitikberatkan terhadap bagaimana sikap Indonesia atas krisis keamanan di Semenanjung Korea yang mungkin saja kedepannya akan menjadi konflik apabila tetap memanas seperti saat ini. Meski Indonesia bukan bagian dari kawasan Asia Timur, tetapi ia mempunyai hubungan diplomasi baik dengan Korea Utara maupun Korea Selatan sehingga posisinya menjadi relevan dalam menengahi krisis ini.
Indonesia dengan tegas memegang erat kebijakan luar negerinya yaitu politik bebas aktif yang tercermin lewat menginisiasi adanya Gerakan Non-Blok (GNB) yang mempunyai prinsip dasar untuk tidak beraliansi/mendukung dari dua kekuatan besar di perang dingin dan meratifikasi Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty (CTBT) yang melarang adanya berbagai aktivitas nuklir di bumi ini.
Berkaca dari pengalaman-pengalaman sebelumnya yang telah disebutkan di atas maka pada persoalan krisis ini, Indonesia harus tetap bersikap ketidakberpihakan terhadap Korea Utara maupun Korea Selatan sebab Indonesia memiliki hubungan yang baik dengan keduanya. Keberpihakan Indonesia justru hanya akan memperburuk situasi dan mengancam stabilitas perdamaian regional maupun global, bisa saja negara-negara lain juga ikut berpihak atau justru yang terburuk Indonesia lah yang mengalami kerugian karena terputusnya kerja sama dengan salah satu negara tersebut yang dapat menurunkan perekonomian Indonesia.
Bukanlah solusi yang baik untuk berpihak, justru lebih baik bagi Indonesia untuk mendorong dialog terhadap dua negara yang sedang memiliki hubungan buruk. Sebagai negara yang telah banyak menjadi mediator ada baiknya Indonesia tetap terus mendorong dan mengusahakan adanya dialog antar kedua negara. Indonesia bisa melakukan peaceful solution dengan negosiasi yang berkaitan dengan confidence building measure yang perlu di arahkan ke arah perdamaian tanpa perlu menyudutkan salah satu pihak (Nanda, Swastanto, & Octavian, 2019).
Indonesia juga dapat mendorong adanya kembali pembicaraan dari The Six Party yaitu pembicaraan dari enam negara yaitu Korea Selatan, Korea Utara, Jepang, Tiongkok, Amerika Serikat, dan Rusia demi menemukan solusi yang damai bagi keduanya sehingga tidak akan menjadi konflik terbuka yang berimbas kemana-mana. Indonesia mempunyai hubungan diplomatik yang baik dengan Rusia maupun Tiongkok sehingga ia dapat membujuk kedua negara ini untuk turut andil (Hutagalung, 2024). Indonesia juga dapat mengajak negara-negara lain semisal seperti di Asia Tenggara untuk memperkuat tekanan agar negara The Six Party setuju untuk diadakannya kembali dialog. Apalagi dengan posisinya yang berpengaruh di ASEAN, ia dapat menyediakan atau memfasilitasi negosiasi lewat ASEAN (Hutagalung, 2024).
Tindakan-tindakan dari pihak Indonesia ini juga berhubungan dengan warga negara Indonesia yang tinggal di negara-negara tersebut, apabila Indonesia memilih untuk berpihak secara terang-terangan terhadap salah satu pihak maka akan mempersulit evakuasi warga negara Indonesia yang tinggal di Korea Selatan ataupun Korea Utara untuk dipulangkan ke Indonesia apabila kemungkinan buruk terjadi yaitu perang terbuka antara keduanya. Selain itu, Indonesia juga perlu memperkirakan dampak yang akan terjadi apabila perang terbuka terjadi di Semenanjung Korea seperti berimbasnya ke perekonomian Indonesia yang menurun, pertumbuhan ekonomi secara global pun dapat menurun, bahkan kemungkinan meluasnya perang juga ada hingga tidak hanya di Asia Timur namun bisa saja menyeret hingga ke Asia Tenggara (Nanda, Swastanto, & Octavian, 2019).
Sebagai negara yang menggaungkan kebijakan politik bebas aktif serta memiliki hubungan diplomatik yang baik dengan Korea Utara dan Korea Selatan. Indonesia mempunyai kesempatan untuk menjadi penengah dari krisis keamanan ini, dan harus konsisten dalam mendorong adanya upaya dialog. Dengan berbagai pengalaman sebagai mediator, Indonesia dapat menjadi jembatan antara negara lain dengan negara di Semenanjung Korea agar menemukan solusi perdamaian yang melibatkan semuanya. Indonesia harus tetap berhati-hati dan menjaga sikap ketidakberpihakannya dalam menjalankan diplomasi perdamaian ini.
Referensi
Center for Arms Control and Non-Proliferation. (2023). Fact Sheet: North Korea Missile Test Activity. Center for Arms Control and Non-Proliferation. Retrieved September 11, 2024, from https://armscontrolcenter.org/fact-sheet-north-korea-missile-test-activity/.