Mohon tunggu...
Raisa Nadira
Raisa Nadira Mohon Tunggu... -

aku seorang lelaki yang tinggal jauh dari anak dan istri......

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malam Pertama yang Tak Terlupakan

27 Januari 2011   08:36 Diperbarui: 30 September 2020   18:38 4303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : sumber foto: muzmatch.com

Hari ini, Rabu 26 Januari sebelas tahun yang lalu…. Pagi ini ketika kubuka mataku, kuucapkan syukur Alhamdulillah bahwa aku masih diberikan kesempatan menghirup udara di bumi ini.

Dengan segera kuangkat tubuh ini untuk bersujud melaksanakan kewajibanku menunaikan sholat shubuh. 

Hari ini merupakan hari bersejarah bagiku, hari yang (kuingin) hanya sekali terjadi dalam kehidupanku, hari dimana aku mengucapkan ikrar tanda setiaku kepada wanita yang selama ini kucari dalam hidupku, wanita yang diciptakan dari tulang rusukku, wanita yang akan menyimpan benih-benih cintaku di rahimnya, wanita yang akan membesarkan anak-anak kami kelak, wanita yang akan kucintai dan kusayangi sampai mati.

Berbalut perasaan yang bercampur-aduk antara senang, waswas, grogi dan entah apalagi kukenakan pakaian yang dalam beberapa minggu terakhir telah kupersiapkan untuk hari istimewa ini. Setelan Jas berkerah sanghai berwarna krem membuatku tampak rapih dan semakin tampan.

Sambil bercermin kupandangi wajahku yang terlihat tegang dengan segudang pertanyaan “sanggupkah aku melalui hari ini dan hari-hari berikutnya”, kucoba tersenyum pada wajah yang dicermin itu yang kadang menatapku sangsi dan kadang menatapku dengan senyum kepastian.

Aku semakin tegang. Semua orang di rumahku juga terlihat sibuk untuk mengantarku “menyebrangi” kehidupan yang baru.

Kuhampiri Mamiku yang pagi itu wajahnya terlihat cerah dengan senyumnya yang meneduhkan jiwaku, meski sebagian anggota tubuhnya tak lagi bisa difungsikan sebagaimana mestinya.

Dengan lembut kucium tangannya sambil menahan airmata yang sudah tergenang di pelupuk mataku. Tak sanggup kupandang kelembutan matanya yang menatapku dengan penuh rasa sayang.

Perlahan diusapnya rambutku dengan penuh kasih seperti yang sering ia lakukan waktu aku kecil dulu. Dengan tenang diucapkannya do’a keselamatan untukku dan seluruh keluargaku serta untuk kelancaran acara hari ini.

Dengan berat kugeser tubuhku untuk menghampiri Papaku yang tak lagi dapat menahan tangisnya. Tanpa sepatah kata ia peluk diriku yang juga tak lagi dapat menahan tangis.

Kemudian satu persatu keluargaku terutama yang lebih tua kupintakan doa restunya untuk masa depanku.

Akhirnya dengan doa yang cukup panjang dipimpin oleh Mamiku aku dan rombongan bersiap untuk pergi ke rumah calon istriku yang jaraknya tak lebih dari 100 meter (lumayan ngirit bensin…he..he..).

Dengan sambutan yang cukup meriah aku dan rombongan sampai di rumah calon istriku. Sudah banyak tamu undangan yang hadir terutama sesepuh-sesepuh yang ada di lingkungan rumah kami.

Dengan berbekal doa restu orangtuaku kumasuki rumah yang hampir setiap malam minggu kudatangi selama kurang lebih delapan tahun. Namun kali ini perasaanku sangat jauh berbeda untuk memasuki rumah itu. 

Kupandangi sekeliling ruangan itu. Kenapa aku merasa asing di sini, bukankah tempat ini telah sering aku datangi ?, ternyata memang perasaan ini tak dapat begitu saja berkompromi dengan keadaan, ketegangan masih menyelimuti ku, uh…gerah banget rasanya, kemana sih pak penghulunya ? aku semakin gelisah.

Dalam kepalaku terus mengira-ngira seperti apa rupa calon istriku dengan dandanannya ya ?..ah, ternyata susah juga ngebayanginnya.

Untunglah keadaan ini gak berlangsung lama, yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga, dengan tersenyum pak penghulu menatapku, seperti tahu kegelisahanku, akupun tersenyum dengan berat. 

Akhirnya pak penghulu siap untuk memulai acaranya. Calon istrikupun dipanggil untuk masuk keruangan.

Dengan gelisah kuperhatikan jalan masuknya…wow..aku terkesima, tak pernah kulihat dia secantik ini sebelumnya.

Kebaya berwarna krem menutupi tubuh mungilnya, membuatnya tampak anggun, kuperhatikan riasan wajahnya, betapa cantiknya mempelaiku.. Subhanallah…dan dia tersenyum menatapku, mungkin dia tahu apa yang kurasakan saat itu. 

Dengan hadirnya dia disampingku, aku mulai bisa menata perasaanku sendiri, mudah-mudahan ini tanda memang chemistry kami sangat cocok.

Dengan sekali tarikan nafas dapat kuucapkan Ijab Kabul yang beberapa hari belakangan ini sempat mengganggu tidurku, takut gagal dan takut menjadi gagap. Para hadirin pun langsung mengucapkan doa syukur yang dipimpin oleh pak penghulu begitu saksi mengucapkan syah atas apa yang aku ucapkan.

Dengan sumringah kubacakan janji pernikahan dihadapan para hadirin. Begitu banyak kewajiban seorang suami terhadap istrinya begitupun sebaliknya, namun inilah pernikahan dimana keduanya harus bisa memahami dan menjalankan hak dan kewajibannya sebagai suami istri.

Betapa bahagianya diriku saat itu, segala beban yang menghimpit dalam beberapa hari ini seakan terlepas begitu saja dari pundakkku, terima kasih ya Allah telah kau lancarkan prosesi ini.

Seperti biasa, acara berlanjut ke nasehat perkawinan, dengan khidmat kudengarkan wejangan yang diberikan, namun sesekali fikiranku melayang ke masa yang akan datang, apa yang akan terjadi setelah ini, apa yang akan kukerjakan setelah ini, sanggupkah aku melakukan kewajibanku sebagai seorang suami, sebagai seorang ayah nanti, sanggupkah aku membahagiakan istriku, membahagiakan anak-anakku.

Ya Allah berilah aku kekuatan untuk menjadi hamba-Mu yang mampu menjalankan amanah-Mu menjadikan keluarga yang Sakinah Mawaddah Wa Rahmah. Amin..

Selesailah sudah acara hari ini, seluruh hadirin mengucapkan selamat kepada kami berdua, peluk cium dari para keluarga, kerabat dan kawan dekat kami terima dengan senang hati dan kebahagiaan yang mendalam.

Hari pun beranjak petang, setelah makan-makan dan berfoto, satu persatu undangan meninggalkan rumah mertuaku (sekarang udah boleh dong nyebut mertua…) tinggal keluarga dekat saja yang tersisa.

Hari ini memang hanya acara akad nikah saja, sementara untuk acara resepsinya masih sepuluh hari lagi (lama banget ya…) sesuai hitungan orang-orang tua, kami ngikut saja..kan mereka yang punya acara. 

Petang telah berlalu, malampun mulai menyapa kami, masih ada perasaan heran dan aneh di kepalaku, apa benar yang kualami hari ini, apa semuanya nyata, kupandangi istriku yang duduk disampingku, semuanya nyata, ini bukan mimpi, kami berdua pun tersenyum tapi aku tak tahu arti senyumnya, yang kutahu senyum itulah yang membuatku langsung jatuh hati pertama kali bertemu dengannya.

Dengan sedikit bercanda kutanyakan padanya apakah malam pertama akan kita nikmati malam ini atau nanti setelah pesta resepsi yang masih sepuluh hari lagi.

Lagi lagi dia hanya tersenyum, dan lagi-lagi aku tak tahu arti senyumnya, ya sudah, akupun hanya bisa tersenyum walau dalam hati sangat mengharapkan jawabannya.

Malampun terus meninggi, kami masuk ke kamar yang sunyi………………(bersambung) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun