Tanggal 9 Mei kemarin menjadi salah satu hari yang penuh gegap gempita di jagat dunia maya. Pasalnya hari itu menjadi waktu terakhir bagi KPU untuk menyelesaikan penghitungan perolehan suara nasional parpol untuk DPRRI. Yang menjadi sorotan publik adalah perolehan suara Demokrat yang sempat menyalip Gerindra, pada sore hari tanggal 9 itu. Heboh. Praduga. Prasangka. Komentar. Semuanya miring. Negatif. Menuduh ini dan itu. Tipikal komentator yang merasa paling hebat dan paling benar sedunia.
Okelah kalau komentator di dunia maya mah, harus dimaklumi. Isinya ada yang berkualitas atau bahkan sangat berkualitas, tapi sebaliknya ada juga yang isinya paling tidak berkualitas se-alam raya. Itulah fakta di dunia maya yang berisi beragam manusia yang bebas mengeluarkan pendapat sesuai kapasitasnya masing-masing.
Yang mengherankan adalah komentar para tokoh, yang dengan ketokohannya juga ikut berkomentar negatif. Padahal waktu itu, penghitungan belum selesai. Belum sampai garis finish. Komentarnya negatif, menuduh ini dan menuduh itu, menduga ini dan menduga itu. Dia baru bungkam setelah jam 11 malam berlalu, dan hasil penghitungan real suara nasional parpol tidak berbeda jauh dengan hasil quick count. Margin error quick count yang + dan minus 1, menjadi kenyataan. Walaupun secara logika, yang harus dipertanyakan bukan hasil real count melainkan hasil quick count ketika ada perbedaan. Kalau perbedaannya jauh, patut dipertanyakan kredibilitas pelaksana quick countnya. Ini kok yang dipertanyakan malah hasil real count. Logikanya terbalik nih.
Lebih mengherankan lagi ketika ada calon presiden – sebut saja namanya Jokowi – mempertanyakan hasil penghitungan suara partainya dan juga partai lain. Pertanyaan buat partainya (PDI P) kenapa lebih kecil dari hasil quick count? Pertanyaan buat partai lain (Demokrat) kenapa lebih besar dari hasil quick count? Logikanya bagaimana? Seharusnya pertanyaannya yang benar adalah kenapa quick countnya yang berbeda, bukan real countnya. Itulah sebabnya, para pelaku quick count membuat batasan tentang hasil hitungan mereka yaitu margin error + dan minus satu persen.
Sekarang saya yang terheran-heran dengan perilaku para komentator, termasuk para tokoh, pun capres dalam berlogika. Semoga tulisan ini menjadi catatan sejarah buat para pembaca masa datang, bahwa dalam pemilu 2014 ini terjadi kehebohan terhadap hasil real count karena terbaliknya logika. Kita terpatok oleh hasil quick count dan mengganggapnya sebagai kebenaran absolut, walaupun sudah sejak awal diwanti-wanti tentang + dan minus 1 persen. Hasil quick count tidak bisa menjadi patokan karena ada kemungkinan salah. Sedangkan real count, itulah hasil hitungan yang sebenarnya. Tuduhan dan fitnah terhadap pihak lain akibat kesalahan logika berpikir ini, tentu saja berbahaya dan menunjukkan belum dewasanya kita (publik dan tokoh politik + capres) dalam bersikap dan berpendapat. Â Ya begitulah...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H