Dalam 10 tahun terakhir, kesejahteraan guru secara umum di seluruh Indonesia meningkat. Peningkatannya relatif tergantung dimana mereka bertugas. Namun secara umum, pemerintah membuat kebijakan sesuai dengan amanat undang-undang untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Silakan cek kepada para guru di sebelah kanan kiri Anda, berapa sekarang pendapatan mereka. Dan bandingkan dengan pendapatan sebelumnya. Perbedaannya cukup menyolok. Selain naiknya gaji pokok, mereka juga mendapatkan berbagai macam tunjangan, termasuk tunjangan profesionalitas profesi dengan sertifikasi.
Di Jakarta, kesejahteraan guru saat ini bolehlah disebut sebagai salah satu masa emas. Pendapatan mereka jauh lebih tinggi dibanding UMR. Jauh. Kalau ditambah dengan tunjangan sertifikasi, perbedaannya makin jauh lagi. Sejumlah sumber menyebutkan gaji pokok guru SD saja di Jakarta, sekitar Rp 3 juta. Sedikit di atas UMR. Namun mereka mendapatkan berbagai macam tunjangan, yang totalnya setiap bulan mereka bisa membawa pulang antara Rp 5juta – Rp8 juta. Tak heran jika ada yang berseloroh, kalau sekarang mau dapat pekerjaan lumayan bagus, jadilah guru di Jakarta, hehehe...
Di sejumlah daerah pun demikian. Mereka mendapatkan gaji pokok, plus tunjangan dari pemerintah daerah setempat dan tunjangan sertifikasi. Total yang didapatkan bisa dua kali lipat gaji. Lumayan bukan?! Untuk hal yang satu ini, kita harus mengakui bahwa perlahan tapi pasti, pemerintahan SBY berhasil meningkatkan kesejahteraan guru. Walaupun tentu masih ada yang belum sejahtera karena berbagai alasan. Misalnya, statusnya masih honorer dan sejenisnya. Namun masalah belum selesai. Masalah bukan lagi berada di pundak pemerintahan SBY atau pemerintahan di daerahnya masing-masing. Masalah justru ada di pundak guru! Ya, sekarang sorotan beralih ke guru. Setelah kesejahteraan ditingkatkan, apakah kualitas mereka juga meningkat? Hehehe, sebuah pertanyaan logis. Di kepala kita pasti ada logika lurus, bahwa kalau kesejahteraan meningkat, maka kualitas juga harus meningkat. Begitu bukan?
Faktanya, tentu tidak bisa digeneralisir dan disamaratakan. Di satu sisi, banyak guru yang berhasil meningkatkan kualitas dirinya. Di sisi lain, tidak sedikit juga guru yang stagnan. Bahkan di sejumlah daerah, dampak naiknya kesejahteraan ini justru negatif. Kok bisa?
Saya juga geli sendiri ketika membaca informasi dari Yogya dan Jawa Tengah. Di sana, tingkat perceraian guru dan tenaga pendidik, ternyata meningkat. Selidik punya selidik, ternyata... salah satu penyebab naiknya jumlah perceraian adalah akibat meningkatnya kesejahteraan guru, khususnya guru laki-laki. Katanya, mereka jadi lebih berani beraktivitas di luar rumah hehe... Duh, amit-amit deh, kalau saya punya suami seperti itu. Jadi inget ucapan temen saya, laki-laki kalau makin sejahtera, makin nakal!
Efek lain adalah naiknya tingkat konsumsi dan kredit. Sekarang makin banyak guru yang mampu membeli mobil secara kredit. Kesejahteraan bukan hanya dimanfaatkan untuk menaikkan kualitas dirinya dengan pelatihan dan pendidikan lanjutan, tapi malah untuk urusa konsumtif. Kalau di Jakarta, naiknya kepemilikan mobil oleh guru, tentu saja menambah kemacetan, hehehe...
Jadi buah simalakama nih, pemerintah berhasil meningkatkan kesejahteraan guru, sedangkan sebagian guru yang sudah sejahtera, salah memanfaatkan kesejahteraannya tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H