Bagaimana jika obat untuk penyakit-penyakit langka sudah ada di hutan Indonesia, tetapi kita kehilangan jejaknya akibat deforestasi? Ketika mempelajari ilmu tanaman obat dalam kelas farmakognosi, saya selalu membayangkan ruang-ruang dalam hutan hujan tropis yang seolah menjadi apotek terbesar di dunia. Apotek tanpa pemetaan dengan tanaman penyembuh yang bersembunyi di balik kanopi hutan. Tempat harta karun ilmu keanekaragaman hayati flora. Apakah kelestarian hutan akan bertahan hingga generasi mendatang, atau semakin terkikis oleh deforestasi dan krisis iklim?
Hutan adalah paru-paru dunia. Kita sering mendengar istilah tersebut bukan tanpa alasan. Hutan adalah sumber dari segala kehidupan. Habitat bagi berbagai jenis makhluk hidup. Mulai dari flora, fauna, hingga mikroorganisme. Seluruhnya menghuni bumi dan disatukan dalam harmoni alam. Pohon-pohon lebat yang menyimpan banyak misteri kehidupan, ilmu pengetahuan yang belum terjamah, hingga sumber obat-obatan untuk penyakit langka. Seluruh komunitas organisme itu hidup bersama di hutan dalam keadaan yang seimbang.
Hutan hujan tropis menjadi rumah bagi banyak spesies tumbuhan dan hewan dibanding habitat lain. Iklim tropis yang selalu hangat tanpa musim dingin, mempercepat pertumbuhan vegetasi hutan hujan tropis. Pohon-pohon menjulang tinggi agar memperoleh sinar matahari dengan lebih baik. Hutan hujan tropis terdiri dari tiga tingkat. Mulai dari lantai hutan, bawah kanopi, dan kanopi. Kanopi memayungi tumbuhan di bawahnya dari terpaan sinar matahari langsung, sehingga wilayah di bawah kanopi selalu gelap. Lingkungan tersebut menjadi tempat beraneka ragam flora tumbuh, menyimpan misteri keanekaragaman hayati.Â
Hal ini juga tidak terpisah dari hubungan manusia dengan hutan. Sebagai sumber kehidupan, hutan juga memberikan kekayaannya bagi manusia. Hutan Indonesia menyediakan tumbuhan yang memberikan manfaat ekonomi, sumber makanan, hingga obat-obatan. Sejak zaman nenek moyang kita, sebagian besar suku bangsa Indonesia menggunakan tumbuhan obat secara tradisional untuk mengobati berbagai macam penyakit, bahkan sampai sekarang. Salah satunya dapat ditemukan di Kalimantan Tengah, orang Dayak Kenyah yang telah mengenal dan memanfaatkan paling tidak 200 jenis obat toksin, mewakili 165 marga dan 77 suku. Pemanfaatan keanekaragaman hayati flora sebagai tanaman obat, telah dilakukan secara turun temurun di Indonesia. Pada awalnya, dukun tradisional mengumpulkan ramuan obat dari berbagai bagian hutan. Setelah itu ramuan disiapkan, biasanya dengan pengukuran kasar seperti segenggam, sejari, atau secangkir penuh. Tumbuhan kemudian ditumbuk, direbus, dibakar, atau dicampur makanan. Cara penggunaannya dapat diminum langsung atau dioleskan pada bagian tubuh tertentu.Â
Ada beragam jenis tanaman yang berpotensi menjadi obat. Setiap spesies adalah gudang sumber daya genetik. Salah satu contohnya adalah periwinkle berwarna kemerahan yang dapat menjadi tanaman untuk diolah sebagai obat dari kanker darah (leukemia). Penelitian lain menyebutkan bahwa terdapat sekitar 25 jenis tumbuhan obat yang telah digunakan oleh masyarakat Dayak di Kalimantan Barat untuk menyembuhkan berbagai penyakit seperti bisul, sakit perut, penurun panas dan malaria. Selain itu, ada penelitian dari tim Biofarmaka yang telah menemukan 105 spesies tanaman obat di Bukit Turgo. Salah satunya daun sintrong yang jika tidak diteliti lebih lanjut, awalnya hanya dikira sebagai rumput liar. Padahal tumbuhan ini memiliki khasiat untuk mengobati gangguan pencernaan dan meredakan sakit perut. Jika seandainya seluruh tumbuhan tersebut punah, manfaat medisnya tidak akan pernah diketahui.
Tanaman obat dapat diperoleh dari beragam jenis bagian tanaman. Seperti dari biji, akar, daun, buah, kulit, hingga tanaman obat yang dapat dimanfaatkan seluruh bagiannya. Salah satu contohnya adalah herba beladon yang dapat digunakan untuk obat parkinson. Contoh lainnya ada daun digitalis yang dapat digunakan untuk penyakit jantung. Kulit kina yang terkenal penggunaannya sebagai obat malaria. Atau kandungan reserpin dalam akar pule pandak yang berkhasiat sebagai obat penurun tekanan darah tinggi.Â
Semua itu menunjukkan betapa berharganya keberadaan hutan bagi keanekaragaman hayati, dan pada akhirnya manfaatnya kembali juga kepada manusia. Namun, mengapa manusia masih menjadi salah satu penyebab dari hilangnya keanekaragaman hayati? Deforestasi masih banyak dilakukan. Secara internasional, deforestasi dapat diartikan sebagai kehilangan kawasan hutan yang berubah menjadi kawasan non hutan. Dilansir dari Forest Watch Indonesia, Deforestasi dibagi menjadi dua, yaitu deforestasi terencana dan deforestasi tak terencana. Deforestasi terencana adalah pembabatan hutan melalui izin konsesi hutan alam, untuk tujuan seperti perkebunan, pertambangan, infrastruktur dan lumbung pangan. Hal ini masih bisa diatasi jika dilakukan penanaman kembali dan perbaikan lahan hutan. Namun, yang menjadi masalah besar adalah deforestasi tak terencana yang berasal dari penggundulan hutan seperti pembalakan liar atau kebakaran hutan dan lahan.Â
Ketika hutan hujan dibabat, tanah menjadi tandus. Walaupun ditanami dengan tanaman budi daya baru, tanah itu biasanya hanya mendukung pertumbuhan tanaman di awal masa panen, kemudian kehabisan zat hara. Menebang pohon-pohon di tempat tinggi juga menyebabkan banjir. Tanah tercuci dan larut menuju sungai, dan terjadilah pendangkalan sungai. Tanpa akar pohon yang mengikat lapisan tanah, air hujan dengan cepat menghanyutkan massa tanah. Ketika musim kemarau tiba, tanah yang telah terkikis dan terpapar sinar matahari akan mengeras dan retak-retak, sehingga tidak dapat digunakan untuk bertani atau sebagai tempat hidup hewan dan tumbuhan. Hewan, tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk hidup di hutan kehilangan habitatnya. Hingga berdampak pada kepunahan.Â
Apa yang harus kita lakukan untuk menjaga keanekaragaman hayati di Indonesia dari kepunahan? Salah satunya dengan konservasi. Melestarikan alam atau konservasi artinya merawat bumi dengan menggunakan sumber daya alam secara bijak. Upaya pelestarian alam dapat dimulai dari lingkup sempit, seperti menciptakan cagar alam kecil. Salah satu cara untuk melindungi alam liar adalah melestarikan seluruh habitat di dalam lingkup taman nasional. Aksi penting lain adalah menggalang dana dan mengadakan pendidikan dan pelatihan, khususnya untuk kaum muda sehingga mereka dapat menjaga alam dengan lebih bijaksana di masa depan.
Cara lainnya dapat dilakukan dengan memanfaatkan bank genetik. Bank genetik merupakan fasilitas yang dapat melestarikan plasma nutfah atau sumber daya genetik tanaman, hewan, dan mikroorganisme. Dalam konteks budi daya tanaman obat, bank genetik dapat menjadi tempat pelestarian keragaman genetik. Pelestarian ini dapat dilakukan dengan penyimpanan benih atau kultur jaringan untuk penyimpanan jangka panjang. Bank genetik juga menyediakan bahan dasar untuk penelitian, seperti pengembangan senyawa obat baru, studi karakteristik genetik, dan eksplorasi potensi biofarmasi. Dalam jangka panjang, bank genetik membantu mendukung ketahanan kesehatan dengan memastikan ketersediaan bahan baku obat.Â
Tumbuhan adalah sumber genetik yang kaya. Namun, banyak di antaranya yang diabaikan atau belum sempat dikenal, padahal dapat menjadi obat di masa depan. Cagar alam dan bank genetik telah dibangun di beberapa tempat untuk melindungi saudara liar dari spesies tanaman budi daya. Bibit tanaman baru yang memiliki potensi lebih besar juga dapat dibuat dengan rekayasa genetik. Para ilmuwan sedang berusaha memecahkan sandi kimiawi yang menentukan ciri-ciri dan susunan tubuh makhluk hidup. Dengan pengetahuan tersebut, mereka dapat menukar gen antarbakteri, hewan, dan tumbuhan. Misalnya, kita menginginkan kubis yang daunnya tidak dapat dimakan ulat. Kita dapat memanfaatkan gen dari kalajengking. Gen penghasil bisa (racun sengat) disedot dari kalajengking, kemudian gen yang membawa molekul DNA racun sengat diekstrak, enzim pemotong DNA memotong bagian molekul racun, DNA ditransplantasi ke tubuh bakteri, dan bakteri mengalihkan DNA barunya ke tanaman kubis di laboratorium. Racun di dalam daun kubis pun dapat membunuh hama serangga.Â