[caption id="" align="aligncenter" width="468" caption="Gayus for President!"][/caption] Ya! Saya serius. 100%. Tidak, tidak... bahkan 1.000%! Korupsi di negeri ini sudah menahun, berakar sangat mendalam, sukar diberantas. Uang hasil korupsi di Indonesia kalau dibelikan kerupuk semua, dan krupuknya ditumpuk, barangkali sudah lebih tinggi dari Monas. Bukan, setinggi Merapi. Bukan, mungkin sudah sampai ke bulan. Bayangkan, bangsa ini sebetulnya punya kemampuan mendaratkan krupuk pertama di bulan. Tapi prestasi antariksa apa yang kita punya? Kasus korupsi begitu telanjang terjadi di depan mata, semuanya hanya dibawa ke panggung sandiwara pengadilan. Lalu jadi bahan omongan dan bahan guyonan di warung-warung kopi. Rakyat tak berdaya. Tahu bahwa mereka dirampok habis-habisan. Sumber daya alamnya, juga keras kerasnya, termasuk pajak yang dengan setia mereka bayarkannya. Tapi bisa apa kita, rakyat jelata? Para pelaku dan pendukung korupsi, atasannya dan bawahannya, seringkali lebih baik terlihat tolol di depan publik, daripada ketahuan korupsi. "Lupa, Pak." "Tidak ingat, Pak." "Tidak tahu, Pak." Dan kita pun terheran-heran dan terbahak-bahak, bagaimana orang yang sedemikian pikun dan tololnya bisa jadi pejabat. Kaya raya pula. Di Indonesia, orang lebih baik terlihat tolol dan tidak punya kehormatan asalkan punya duit. Bukan sekadar punya duit, tapi punya duit banyak. Rumah harus setidaknya tiga buah, masing-masing minimal 7 kamar, dua tingkat, dengan garasi muat 5 mobil, masing-masing anak harus punya satu. Untuk apa? Padahal satu rumah dengan 3 atau 4 kamar saja cukup. Mobil satu asal perawatannya baik juga sebetulnya cukup. Dipakai bergantian, cukupkah? Entah kenapa orang harus punya mobil, rumah, uang, deposito banyak-banyak. Kalau cuma buat punya-punyaan, mau diapakan kepunyaannya itu? Mau dipamerkan? Apa tidak takut dipertanyakan orang? Pegawai negeri kelas coro kok mobilnya 6? Rumahnya kok tiga? Jangan-jangan korupsi. Tapi, lagi-lagi, pejabat Indonesia korup lebih suka terlihat tolol, pikun, dan tidak punya kehormatan daripada tidak punya uang segunung. Pokoknya uangnya segunung. Tujuan hidupnya punya uang segunung. Buat apa, dia sendiri tidak tahu. Pokoknya. Yang menuduh, yang tidak suka, pasti iri. Bukannya benci ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Korupsi mulai dari kecil sampai besar ada di mana-mana. Sehari-hari terjadi, di depan mata kita. Sedemikian sering dan 'biasa'nya, sehingga kita lupa bahwa itu adalah korupsi. Rutin kasih uang setoran kepada preman setempat, kirim bingkisan kepada pejabat, 'titip' bikin SIM kepada aparat, memberi pelicin, komisi, atau kick back, atau apalah namanya demi kelancaran bisnis, dan seterusnya dan seterusnya. Kita sungguh-sungguh merasa bahwa penegakan keadilan tidak bergigi. Pengacara berbisnis dengan makelar kasus bisa mengatur bagaimana isi berita acara pemeriksaan dari polisi. Bayar. Lalu memuntir tuntutan jaksa. Bayar. Lalu memilih hakim yang bisa diajak komporomi lewat panitera pengadilan. Bayar. Lalu mengilik hakim untuk mengurangi hukuman, atau bahkan memutus bebas. Bayar. Kalaupun sampai masuk penjara, bisa keluar. Ke luar negeri lagi, tidak tanggung-tanggung. Bayar. Lalu penjara juga bisa dibikin jadi bungalow berfasilitas bintang lima. Penjara apa wisata? Bayar. Ada pengurangan hukuman, bisa dapat banyak pengurangan, putusan 8 tahun bisa dijalani cuma 4 tahun. Bayar. Penegakan hukum jadi bisnis. Itu perasaan kita. Lalu kalau ditanya, mana buktinya, toh nyatanya saya tidak bisa membuktikan. Tidak punya bukti. Kalau saya tidak bisa membuktikan, maka koruptor lantang bersuara, kamu memfitnah. Pencemaran nama baik. Maka sayalah yang akhirnya masuk penjara. Dan karena tidak bayar, maka saya kena tuntutan jaksa yang berat, hukuman berat, tiada remisi, di sel penjara yang paling buruk pula. Tapi itu semua barangkali hanya perasaan saya belaka. Nyatanya saya tidak bisa menunjukkan satu pun bukti adanya korupsi. Gayus mengakui bahwa ia menyuap pejabat tahanan supaya bisa keluar dan ke luar negeri. Tapi itu hanya kata-kata Gayus saja. Kata-kata tukang bohong, tukang tipu, tukang tilep yang sukses merampok uang negara milyaran rupiah tanpa pistol. Kata pihak kepolisian, Gayus membohongi kepala rumah tahanan, karena Gayus bilangnya hanya mau pulang menengok keluarga di Kelapa Gading, eeeh, tahunya malah ke luar negeri. Dan kita serempak terhenyak, "Lha???" Kok bisa seorang pejabat tinggi dengan kewenangan tinggi sebegitu tololnya, kok bisa-bisanya melanggar peraturan, menyalahgunakan wewenangnya secara melanggar hukum karena ditipu oleh orang yang jelas-jelas tukang tipu yang seharusnya dikurungnya? Nah, kan, benar kata saya, pejabat korup lebih suka terlihat tolol. Tapi lagi-lagi ini 'kan dugaan saya. Mana buktinya kalau kepala rutan menerima uang dari Gayus? Saya tidak punya bukti. Polisi tidak punya, jaksa tidak punya, hakim tidak punya, media tidak punya, bahkan Gayus sendiri tidak punya bukti. Yang ada cuma kata-kata. Kata-kata dari mulut seorang pembohong. Makanya, besok-besok, kalau mau menyuap pejabat, jangan lupa minta kuitansi. Lakukan penyuapan di depan notaris dan saksi. Jadi kalau dimintai hakim kita punya bukti, bukan cuma modal ludah. Nah, cukup cerewet saya mengeluh dan merepet soal korupsi. Kini saya tawarkan solusi. Tidak main-main. Solusi untuk memberantas korupsi di Indonesia, dari yang paling besar sampai yang paling kecil, untuk selamanya. Langkah pertama, kita calonkan dan kita pilih Gayus sebagai Presiden. Ini langkah simbolik yang teramat penting. Lalu sesudah itu kita ganti korupsi, penyalahgunaan jabatan, penyuapan, pelicin, dan lain-lain dengan kata-kata yang berkonotasi positif seperti 'saling pengertian', 'kerja sama', atau 'kekeluargaan.' Selanjutnya korupsi dikeluarkan dari hukum pidana. Korupsi perlu segera di-dekriminalisasi. Tidak bisa orang ditangkap, diadili, atau dipenjara karena korupsi. Karena korupsi tidak lagi menjadi kejahatan. Selanjutnya, korupsi, dalam bahasa yang baru, seperti saling pengertian, kerja sama, dan kekeluargaan digalakkan. Dianjurkan, kalau perlu diwajibkan. Bikin KTP, SIM, atau paspor, harus menyuap, sekalipun Anda tidak minta servis istimewa. Tidak minta cepat jadi, tidak minta paspor palsu atas nama Sony Laksono, tetap wajib menyuap... eh maksud saya 'kerja sama' dengan aparat atau pejabat. Karena 'kerja sama' ini diwajibkan, otomatis harus ada tarif yang jelas. Untuk servis ini, suapnya... eh, salah lagi, maksudnya saya, tarif kerja samanya harus jelas berapa. Kepada pejabat kelas teri berapa, kepada pejabat kelas coro berapa, kepada pejabat kelas kakap berapa, kepada yang bukan pejabat berapa. Distribusi korupsi ini harus jelas, dan harus diundangkan. Dan seterusnya, demi kepraktisan, maka perlu, ya kuitansi itu tadi. Sesudah itu, korupsi harus diperluas. Korupsi atau sogok menyogok, atau dalam bahasa yang baru disebut sebagai 'kerja sama' harus--bukan merembes atau menetes, tapi--membanjir ke luar lingkungan pejabat, aparat negara, dan preman saja. Korupsi harus melanda dan dilakukan oleh semua orang di Indonesia. Gelandangan, anak jalanan, petani tanpa tanah, maling, pedagang sayur keliling, tukang kredit, petugas kebersihan, ibu rumah tangga, pengangguran, pelajar, mahasiswa, guru, ustad, kadi, semua saja warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Semua orang harus korupsi di Indonesia. Maksud saya semua orang harus saling 'bekerja sama' di mana saja, kapan saja, kepada siapa saja, tidak perduli tua muda, miskin kaya, laki perempuan, atau desa kota. Semuanya dan saling. Pertanyaan. Lalu bagaimana jika dalam suasana saling korupsi ini ada yang mengkorupsi korupsi? Maksudnya korupsinya yang dikorupsi. Sudah dilegalkan, sudah saling mengkorupsi, sudah disebut kerja sama eh, masih dikorupsi juga korupsinya. Ini yang disebut korupsi atas korupsi. Sudah terima setoran tak resmi, masih juga ditilep setoran ke atasannya. Tentu saja hal ini akan sukar dilakukan kalau Gayus yang jadi presidennya. Ini pentingnya simbol. Kalau pucuk pimpinannya saja Super Koruptor, atau dia yang bergelar Yang Dipertuan Korupsi, atau Yang Maha Korup, tentu aparat di bawahnya, para pejabat pengawas, juga terus sampai ke rakyat biasa yang semakin hari semakin menjadi pakar dalam praktik korupsi--learning by doing--karena matang dan sarat pengalaman, melakukan korupsi kuadrat atau double corruption seperti ini akan sulit. Bahkan, praktis tidak mungkin dilakukan. Dalam waktu kurang dari satu tahun, saya kira, ketika semua orang sudah korupsi semua, saling mengkorupsi satu sama lain, dan korupsi sudah lebih dari menggejala, tapi benar-benar menyebar rata ke segala lapisan, saya yakin masalah korupsi akan hilang. Persoalan dengan korupsi, saya kira, selama ini bukan karena korupsi itu ada, banyak, luas, dan menjamur. Tapi karena yang banyak dan menjamur itu tidak rata. Cuma pejabat tertentu saja yang bisa korupsi. Dan semakin tinggi atau semakin 'basah' jabatannya, maka korupsinya punya peluang menghasilkan lebih banyak uang. Kalau semua warga negara Indonesia korupsi--maksud saya kerjasama dalam saling pengertian--dan saling mengkorupsi satu sama lain, saya kira tidak akan ada masalah. Pejabat--setinggi atau serendah apapun--juga harus bayar uang suap kepada petani kalau mau beli beras. Petani juga harus bayar sogokan kepada tukang tambal ban sepeda. Jadi jangan cuma supir angkot saja yang rutin menyelipkan uang salam tempel kepada polisi kalau pas ketahuan melanggar rambu S coret demi 'kejar setoran' dan 'ambil sewa' seperti selama ini. Semua harus dibongkar. Korupsi bahkan harus difatwa halal, bahkan sunah, mungkin wajib. Ini semua saya usulkan karena saya sungguh mencintai negeri tolol yang super korup ini. Oleh karenanya, marilah kita rapatkan barisan, satukan suara: "Gayus for President!" Nyaringkan slogan kampanye kita, "Koruptor Bersatu Tak Bisa Dikalahkan!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H