Mohon tunggu...
Rainny Drupadi
Rainny Drupadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Penjawab ABAM

Not too smart, but striving to be smarter

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meningkatkan Pahala Puasa dengan Tetap Membuka Warung

29 Agustus 2010   11:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:37 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada beberapa prasangka yang umum terjadi dalam rangka menghormati orang yang berpuasa tetapi malah justru merugikan orang yang berpuasa.


Prasangka yang umum, misalnya, bahwa orang yang berpuasa harus dihormati, sehingga yang tidak berpuasa bukannya harus bersikap biasa saja, tapi harus secara aktif menghormati orang yang berpuasa. Misalnya saja, warung yang buka siang hari bagi orang yang tidak berpuasa harus tutup atau dipaksa tutup dengan ancaman dirazia Satpol PP.


Beberapa mahasiswa yang tak berpuasa bahkan terpaksa membeli satu kardus mi instan untuk makan siang selama bulan Ramadan. Waktu saya tanya, apakah mereka sedang menyambut bulan Ramadan atau sedang bersiap-siap menghadapi bencana alam, mereka menjawab, "Apa bedanya?"


Selain itu ada yang tidak terlalu merepotkan tapi mengurangi kenyamanan, misalnya, orang tak berpuasa harus makan tanpa melihat pemandangan karena warung atau restorannya menutup jendela atau memasang tirai rapat-rapat. Isolasi dari dunia luar ini juga menyebabkan perasaan tidak enak bagi yang mengalaminya, seolah-olah mereka sedang melakukan perbuatan dosa, nista, najis tak berampun, dan tak pantas dilihat. Membuat rumah makan terasa seperti bordil. Dengan menutup jendela atau memasang tirai rapat-rapat, sebetulnya, pengelola restoran atau warung telah melakukan pelecehan, pertama kepada konsumennya karena menganggap mereka sebagai sesuatu yang tak layak dilihat, dan juga kepada mereka yang berpuasa karena menganggap mereka sedemikian lemah imannya dan sedemikian mudahnya tergoda untuk makan atau minum.


Tanpa disadari berusaha menutupi pemandangan makanan/minuman dan action makan/minum dari orang berpuasa justru mengurangi tantangan berpuasa yang artinya justru mengurangi pahala orang yang berpuasa. Sebagai analogi bisa kita buat perbandingan antara orang berpuasa yang mengurung diri, mengisolasi diri rapat-rapat, dalam kamar tertutup agar tidak tergoda; dengan orang berpuasa yang tetap bekerja seperti biasa di pasar atau di tempat lain yang penuh godaan. Dalam hal razia warung, tanpa sadar masyarakat dipaksa menciptakan 'kurungan tertutup' seluas jagad khusus bagi orang yang berpuasa. Ini sama dengan upaya mengurangi tantangan berpuasa dan pada akhirnya justru akan mengurangi pahala orang yang berpuasa secara massal.


Bagi orang yang mengejar pahala berpuasa, isolasi seluas jagad raya (seperti razia warung) adalah sebuah kerugian.


Baca juga Kapitalisme Pahala.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun