Kesakralan budaya adalah aspek terpenting yang seharusnya dijunjung terus menerus, demi menjaga nilai-nilai asli dari nenek moyang. Namun, dalam beberapa situasi saat ini, ritual budaya kehilangan jati dirinya. Di era modern dan globalisasi, budaya tak mampu mempertahankan eksistensi aslinya dan malah melebur dengan perkembangan jaman. Hal ini tentunya menjadi masalah, karena kesakralan budaya telah menghilang bercampur dengan aspek-aspek ekonomi dan politik.
        Seperti contohnya, tidak dapat dipungkiri bahwa budaya kini kerap kali sebagai jembatan peraih kekuasaan politik. Kita dapat melihat di beberapa ritual budaya, terdapat aktor yang disebut dalam serangkaian ritual tersebut. Padahal, dalam ritual asli budaya, mereka bukanlah bagian dari serangkaian acara. Masih belum paham apa yang saya maksud? Okey para pembaca sekalian, apakah pernah datang di suatu rangkaian adat/budaya. Mungkin pembaca sekalian tidak sadar, apalagi pada saat-saat mendekati pemilihan kepala daerah atau lembaga legislatif. Para calon-calon tersebut kerap kali hadir dan memainkan peran dalam rangkaian ritual tersebut.
        Kalau kita berpikir lebih kritis, tentu saja oknum-oknum tersebut tidaklah seharusnya di situ dan mengintervensi rangkain ritual. Itu menunjukkan bahwa pencitraan politis seringkali terjadi pada saat ini. Calon-calon politik tersebut, tujuannya tak lain dan tak bukan, hanya untuk mendapatkan dukungan masyarakat lewat ruang-ruang kecil budaya. Peran budaya saat ini bertranformasi menjadi alat komunikasi politik. Sedangkan masyarakat kita cenderung akan memilih pemimpin yang memiliki hubungan keakraban dan kedekatan emosional. Tentu hal ini akan menjadi sangat berpeluang untuk menjalankan misi para calon tersebut agar kemungkin terpilih besar.
        Tidak usah jauh-jauh di lingkungan terdekat desa saja dalam pemilihan kepala daerah. Beberapa calon memanfaatkan ritual adat masyarakat untuk menarik simpati. Mereka memakai cara dengan mendanai acara besar tersebut, memasang wajahnya di baliho, bahkan dapat mengubah struktur acara agar sesuai dengan kepentingan kampanyenya.
        Contoh kasus lain dalam penelitian Oktavianus berjudul Politik gemohing: instrumen meraih kekuasaan politik di kabupaten flores timur. Merupakan salah satu contoh tradisi bagaimana kepentingan politik dapat mencampuri nilai sakral budaya. Gemohing adalah bentuk gotong royong masyarakat di Flores Timur yang awalnya di kalangan petani. Tetapi lambat laun tradisi ini bertransformasi ke aspek-aspek lain dan tidak hanya para petani lagi. Aspek kepentingan politik datang ke tradisi ini. Robertus Rebon Kereta adalah aktor politik dalam hal ini, dalam prakteknya ia menggunakan tradisi gemohing untuk memperkuat posisinya menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) selama empat periode berturut-turut. Dengan cara masuk dan mengakraban diri ke lingkungan masyarakat tersebut, serta aktif memberikan bantuan material dan non material. Menjadikannya sosok yang berpengaruh, sehingga masyarakat mudah dimobilisasi politik demi kepentingannya sendiri. Ini membuktikan tradisi dengan mudah telah berubah menjadi modal politik oleh tokol lokal.
        Teori Emile Durkheim tentang sakralitas Budaya dalam bukunya "The Elementary Forms of the Religious Life," relevan dalam hal ini. Durkheim menyatakan pentingnya ritual bahwa kesakralan adalah hal-hal yang dianggap suci dan dihormati oleh masyarakat, kesakralan ini ada untuk dapat mempengaruhi norma dan perilaku sosial, serta menghubungkan individu ke entitas lebih besar seperti Tuhan, leluhur, dan alam.
        Kehadiran kepentingan politik dalam ritual budaya dapat dianggap sebagai kemunduran eksistensi budaya dalam hal-hal sakral. Dalam terminology Durkheim, tindakan ini dapat memecah kesadaran kolektif masyarakat yang seharusnya menjadi perekat sosial. Rituak yang awalnya berfungsi sebagai pengalaman kolektif untuk memperkuat solidaritas berubah menjadi alat politik yang bersifat individualistis dan pragmatis.
        Dampak yang terjadi jika dinormalisasi terus menerus dan tidak dihentikan, campur tangan politik dalam budaya akan menghasilkan generasi yang melihat ritual tradisional sebagai hiburan tanpa ada eksistensi nilainya. Lebih jauh lagi, ini dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai asli yang diwariskan. Generasi muda akan merasa asing dengan budaya mereka sendiri karena nilai aslinya sudah hilang digantikan oleh kepentingan-kepentingan politik praktis sesaat.
        Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah seharusnya berperan sebagai fasilitator, bukan dominator. Merekan harus mendukung pelestarian budaya tanpa mencampuri esensi ritual sendiri. Budaya bukanlah sekedar warisan masa lalu, tetapi sabagai arah moral dan spiritual untuk masa depan. Biarkan tradisi berjalan dengan keasliannya, tanpa kepentingan politik yang mencemari dan alat bagi mereka yang berkuasa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI