Libur Lebaran telah usai. Semangat kerja pun belum sepenuhnya on fire. Tubuh rasanya masih terbawa ritme libur Lebaran. Banyak yang belum puas dengan liburan. Hati pun terasa masih ada di kampung halaman.
Suasana hati yang demikian memang cukup beralasan. Jiwa masih melayang di kampung halaman. Mau sampai kapan? Bergantung pada masing-masing orang. Cuma sekadar menjadi penyadar ingatan. Usai libur Lebaran, dompet sekarat tak karuan.
Kondisi uang yang demikian dialami kebanyakan orang. Keuangan amburadul tak karuan. Ternyata, selama libur Lebaran ada banyak pengeluaran yang di luar dugaan. Meski telah dibudgetkan, kondisi keuangan tetap saja kebobolan.
Masih ingat pos-pos tak terduga mana saja yang menyedot keuangan selama Lebaran? Ada banyak kejadian spontan yang memaksa kita mengeluarkan uang. Uang salam tempel yang telah disiapkan, namun ternyata jumlahnya membengkak.
Kebutuhan menu Lebaran ternyata tetap kurang meski telah disiapkan jauh hari karena perbedaan selera. Pergi tamasya bersama keluarga pun tak bisa ditunda, meski sebelumnya tak direncana.
Ada lagi acara reuni teman-teman sekolah yang berlanjut dengan penggalangan dana hingga belanja oleh-oleh yang tak diduga membengkak karena beragamnya oleh-oleh yang sesuai selera. Keuangan bocor di sana-sini.
Usai Lebaran, uang di dompet pun kini mengering. Padahal, masih banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Pertanyaannya, bolehkan kita ngutang untuk kasus saat ini?
Pada dasarnya utang itu diperbolehkan untuk alasan yang sangat mendasar, mendesak dan tidak dapat ditunda alias sangat terpaksa sekali.Â
Kira-kira apa saja biaya yang demikian ini? Sebut saja biaya pendidikan anak hingga biaya listrik. Habis Lebaran, biaya pendidikan anak yang tinggi telah menanti.
Namun sangat disayangkan apabila biaya pendidikan anak dipenuhi dari utang. Pasalnya, biaya pendidikan anak idealnya sudah disiapkan jauh-jauh hari karena biaya pendidikan itu peningkatannya cukup drastis hingga 20% per tahun atau selalu di atas inflasi.