Dalam sistem politik, terdapat sistem pemerintahan bernama plutokrasi. Banyak di antara kita mungkin lebih sering mendengar demokrasi, yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Berbeda dengan demokrasi, kalau plutokrasi menurut Joseph Stiglitz adalah pemerintahan dari satu persen, oleh satu persen, untuk satu persen. Hal ini menggambarkan bahwa sistem politik yang mana kekuasaan politik dan pengaruh terpusat pada satu persen penduduk yang kaya secara ekonomi.Â
Pada plutokrasi, mereka punya kontrol yang dominan atas kebijakan pemerintah dan ekonomi, sedangkan kepentingan dan aspirasi mayoritas penduduk sering kali diabaikan atau tidak terwakili dengan baik. Dengan kata lain, plutokrasi menunjukkan ketidakseimbangan kekuasaan dan distribusi kekayaan yang cenderung menguntungkan kelompok kecil elite yang kaya. Kemudian, secara definitif, plutokrasi bisa kita lihat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni sistem politik yang dikuasai oleh kaum kaya atau kaum pemilik modal (kapitalis).Â
Secara etimologi, plutokrasi berasal dari bahasa Yunani, yakni ploutos yang berarti kekayaan, dan kratos yang berarti kekuasaan atau pemerintahan. Plutokrasi merupakan sebuah sistem pemerintahan yang mana kekuasaan politik secara dominan dipegang oleh individu atau kelompok yang kaya atau berkekuatan ekonomi yang signifikan.
Dalam plutokrasi, pengambilan keputusan politik sering kali dipengaruhi oleh kepentingan dan kekuasaan finansial. Kelompok-kelompok kaya (kapitalis) atau korporasi besar bisa menggunakan kekayaan mereka untuk mempengaruhi kebijakan publik dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar bagi diri mereka sendiri. Akibatnya, kesetaraan sosial dan kesempatan yang adil dalam masyarakat dapat terancam, sementara kesenjangan ekonomi mungkin semakin meningkat. Plutokrasi sering dikritik karena berpotensi penyalahgunaan kekuasaan dan kurangnya representasi rakyat.Â
Sistem politik yang berdasarkan plutokrasi mungkin cenderung menguntungkan kelompok kaya sementara mengabaikan kepentingan dan aspirasi mayoritas masyarakat. Kalau kita melihat dinamika politik di Indonesia, ongkos politik di Indonesia sangat mahal, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ongkos politik calon wali kota atau bupati rata-rata mencapai Rp20 s.d. 30 miliar.Â
Sementara, gubernur dan wakilnya membutuhkan modal Rp100 miliar. Kemudian, ongkos politik yang harus dikeluarkan bagi setiap calon presiden dan wakilnya di Indonesia setidaknya mesti menyiapkan modal minimal Rp5 s.d. 7 triliun. Tentu dengan besarnya ongkos yang mesti dikeluarkan oleh para calon pejabat, maka uang memiliki peranan penting dalam dunia politik Indonesia.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, hampir 92 persen calon kepala daerah yang ada di seluruh Indonesia didukung secara finansial oleh cukong (pemilik modal). Sementara, menurut KPK, sekitar 82 persen calon kepala daerah dibiayai oleh sponsor.Â
Hal ini tentu akan berdampak buruk bagi demokrasi Indonesia, bahkan bisa menimbulkan korupsi kebijakan karena adanya timbal balik antara kepala daerah dan cukong yang saling menguntungkan satu sama lain, meskipun mereka harus mengabaikan kepentingan masyarakat. Cita-cita untuk mewujudkan demokrasi yang melibatkan partisipasi aktif dan responsif untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan tampaknya berubah menjadi arah yang condong ke plutokrasi.Â
Dampak nyata dari penyebaran plutokrasi dalam dunia politik adalah bahwa para wakil rakyat yang semestinya menjadi garda terdepan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat justru berubah menjadi alat bagi para pemodal untuk mengeksploitasi sumber daya.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!