Kota Bukittinggi merupakan sejarah awal dimulainya bela negara di Republik Indonesia. Ketika Agresi Militer II Belanda menyerang Yogyakarta, Presiden Sukarno memberikan mandat kepada Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatra Barat.
Meskipun telegram tak sampai Bukittinggi, Syafrudin mengambil inisiatif untuk membentuk PDRI. Kota Bukittinggi dipilih sebagai ibu kota negara menggantikan Yogyakarta yang dikuasai Belanda, pembentukan pemerintahan sementara ini juga bertujuan agar Indonesia tetap berdaulat, kondisi Indonesia pada saat itu sedang genting karena Presiden Sukarno dan Wakil Presiden M. Hatta ditangkap oleh pihak Belanda, hal ini juga yang melatarbelakangi dibentuknya Kabinet Darurat atau PDRI.
Berkaitan dengan deklarasi PDRI oleh Syafrudin Prawiranegara pada 19 Desember 1948 silam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keppres Nomor 28 Tahun 2006 mengesahkan Hari Bela Negara atau HBN sebagai momentum merawat ingat dan mengimplementasikan nilai-nilai kebangsaan dalam menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Untuk memperingati momen bersejarah PDRI, Pemerintah Republik Indonesia membangun Monumen Nasional PDRI atau Monumen Nasional Bela Negara di Sumatra Barat. Monumen tersebut mulai dibangun sejak peletakan batu pertama yang dilakukan pada 19 Desember 2012.
Bela negara hukumnya wajib dilakukan oleh seluruh warga negara Indonesia. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 Ayat (3) yang mengamanatkan “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. Bela negara tidak serta merta hanya sekadar mengangkat senjata melawan serangan musuh dari luar negeri, tetapi juga bisa diimplementasikan sejak duduk di bangku sekolah, seperti belajar dengan sungguh-sungguh, berprestasi, membantu sesama, dsb.
Bela negara bukan hanya tugas dan tanggung jawab TNI dan Polri, tetapi seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Sebagai negara yang memiliki keberagaman suku, budaya, agama, ras, dsb. Indonesia rentan terhadap ancaman militer dan nonmiliter, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Bangsa Indonesia harus senantiasa semangat dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran seluruh masyarakat untuk mengimplementasikan nilai-nilai kebangsaan dan bela negara.
Sejak Covid-19 hadir di tengah-tengah manusia, seluruh dunia sedang tidak baik-baik saja, termasuk Indonesia. Semua orang dipaksa untuk beribadah, belajar, bekerja, dan beraktivitas dari rumah. Meskipun demikian, semangat nilai-nilai kebangsaan dan bela negara harus tetap diimplementasikan dengan baik. Pancasila sebagai pedoman bangsa Indonesia harus tetap mengakar dalam kehidupan sehari-hari.
Bela negara di masa pandemi, perlukah? di masa pandemi ini, bukan penghalang bagi bangsa Indonesia untuk senantiasa semangat dan mengimplementasikan nilai-nilai kebangsaan dan bela negara, musibah ini justru harus digunakan sebagai momentum untuk mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dengan cara yang berbeda dari situasi dan kondisi sebelum pandemi Covid-19. Berikut adalah hal-hal yang dapat dilakukan oleh seluruh bangsa Indonesia dalam mengamalkan butir-butir Pancasila:
1. Sila ke-1, sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa sudah seharusnya manusia selalu bertaqwa dan memperbanyak ibadah, serta memohon ampunan kepada-Nya untuk menghilangkan Covid-19 dari muka bumi, agar seluruh aktivitas kembali normal seperti biasanya.
2. Sila ke-2, sebagai makhluk sosial sudah semestinya manusia berempati membantu sesamanya tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, ataupun golongan. Membantu tetangga yang sedang kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19 tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan tertentu merupakan salah satu tindakan yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila butir kedua.