Mohon tunggu...
Rainerus Alva Jati Prasetyo
Rainerus Alva Jati Prasetyo Mohon Tunggu... Teknisi - Seorang Teknisi SAP yang mempunyai hobi menulis.

Menulis untuk berbagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jakarta Macet

2 Mei 2019   14:57 Diperbarui: 2 Mei 2019   16:23 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Aku memasuki kantorku yang masih sepi. Aku sempatkan mampir terlebih dahulu kedalam pantri, aku seduh segelas kopi, dan semangkuk oatmeal hangat. Sepanjang jalan menuju ruang kerjaku, tak lupa pula menyapa rekan-rekan kerja yang sudah datang ke kantor. Kubereskan dahulu dokumen-dokumen yang berserakan di atas mejaku. Setelah semuanya bersih, duduklah aku bersantai menikmati kopi dan oatmealku, begitulah rutinitasku tiap pagi. Tiba-tiba pintu ruang kerjaku diketuk oleh seseorang, kupersilahkan dia masuk, dan ternyata dia adalah sahabat dekatku.

"Pagi bosku, lagi sarapan?" dia menyapaku dengan nada menggoda.

"Bos?? apa aku bosmu?" aku membalasnya.

"Hahaha,lagian serius amat pagi-pagi." dia masih belum berhenti menggodaku.

"Hilang sudah ketenangan di pagi hariku." Jawabku.

Obrolan kami setiap pagipun dimulai, mulai dari kerjaan, liburan, politik, dan hal-hal lainnya. Kami memang terbiasa menghabiskan waktu pagi kami untuk berbincang-bincang, sebelum memulai pekerjaan kami masing-masing. Namun pagi ini sepertinya dia tertarik akan suatu  kebiasaanku.

"Kamu gak bosen apa, berangkat pagi-pagi benar tiap hari cuma buat ngejar kereta sama bus?" Dia mulai bertanya.

"Gak sih, udah biasa." Jawabku.

"Gak tertarik naik motor atau mobil sendiri gitu, masa dari sekolah, kuliah, kerja sampai naik jabatan, naik umum terus." 

"Kamu tahu kan, dari dulu hobiku ngeluh, aku masih mau ngeluh Jakarta macet tiap pagi."

"Lah, apa hubungannya?"

"Ada dong, aku gak mau mengeluhkan suatu permasalahan yang di mana aku sendiri menjadi bagian dari masalah tersebut. Kalau aku naik kendaraan pribadi kan aku menjadi bagian dari penyebab kemacetan itu sendiri."

Ku perhatikan dia diam sejenak. Menyeruput kopinya, dan sepertinya ada kata-kataku yang tidak bisa diterimanya. Betul saja dia kembali bertanya kepadaku.

"Tapi bebas macet itu kan hak kita sebagai warga negara dong, jadi gak salah kalau pengguna kendaraan pribadi untuk mengeluh Jakarta macet tiap hari." dia meneruskan ucapannya.

"Ya, benar, bebas macet itu adalah hak kita sebagai warga negara ini, tapi kita juga perlu ingat, hak yang mengorbankan kepentingan bersama dan orang banyak itu sama saja dengan egois." aku mencoba memberikan masukan padanya.

"Jadi,menurutmu dengan membawa kendaraan pribadi kita salah?" dia masih Nampak penasaran.

"Aku tidak menyalahkan mereka yang membawa kendaraan pribadi kan? Maksudku begini, kalau memang kendaraan pribadi digunakan secara maksimal ya gak masalah, sekarang kamu berangkat sendiri tapi naik mobil, apa itu gak memenuhi jalan namanya? Kita memang punya hak untuk menggunakan transportasi apapun di negara ini, tapi perlu diingat pula konsekuensinya. Lagipula untuk kemacetan ibu kota ini kan permasalahan bersama, ya harusnya jadi kewajiban kita bareng-bareng dong untuk benahin. Kalau balik ke jawabanku di awal sih, aku masih pingin ngeluh Jakarta macet, karena aku udah naik umum dan jalanan masih macet, hahaha." Diapun tertawa mendengar jawabanku itu dan tak terasa waktu untuk kami memulai bekerja sudah tiba.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun