Kasus ini menjadi suatu perspektif yang sangat menarik apabila kita turut melihat dari sudut kausalitas yang terjadi. Apa yang menyebabkan pedagang ini berani untuk menjual produk tidak layak dimakan tersebut? Apakah memang karena niatnya yang jahat dan ingin meracuni (namun untuk apa?) atau justru karena ketidaktahuannya terhadap mekanisme dan prosedur berjualan yang baik dan benar?Â
Apabila karena ketidaktahuan, maka mengapa ia memutuskan untuk berjualan dengan segala ketidakmampuannya ketika di luar sana, ribuan orang justru melakukan kebalikannya- menghabiskan sebanyak mungkin waktu untuk memastikan kualitas dan fundamental terlebih dahulu? Apakah pedagang tersebut terpaksa karena tuntutan dan kondisi ekonomi sehingga ia nekat memulai tanpa adanya prior knowledge atau justru, ia tidak mendapatkan akses terhadap prior knowledge?
Pertanyaan-pertanyaan ini berhasil mengantarkan saya terhadap suatu pemikiran yang sudah tidak asing lagi di telinga kita, yakni suatu pemikiran mengenai ketimpangan. Berangkat dari apa yang saya alami, seharusnya saya tidak heran ketika saya membandingkan pengalaman tidak mengenakkan yang terjadi dengan kondisi dan lokasi tempat saya membeli semangkuk bakso tersebut (posisinya tidak jauh dari perbatasan dan masih sangat jauh dari kota-kota besar Jawa Tengah) sebagaimana wilayah tersebut hanya dipenuhi oleh jalur-jalur vegetasi dan perkebunan.Â
Rasanya kemudian tidak adil apabila saya menumpahkan seluruh kejengkelan saya terhadap pedagang bakso gerobak ini karena membandingkan ia dengan pedagang-pedagang bakso lain di kota sana, tentu mereka-mereka yang berada diluar sana mempunyai pengetahuan yang lebih luas melalui akses edukasi dan informasi yang mereka peroleh.
Namun, apakah kemudian hal ini menjadi suatu hal yang harus dimaklumi ketika seorang pedagang bakso yang telah memutuskan untuk berjualan, justru menjual produk tidak layak santap kepada pembelinya entah karena ia sengaja maupun tidak? Tentu saja tidak. Tindakan tersebut akan tetap berakibat buruk dan mengantarkan kita justru kepada suatu kondisi yang lebih bodoh, yakni terkalahkan oleh kebodohan yang seharusnya bisa dihindari.Â
Lucunya, apabila kita melihat korelasinya terhadap kehidupan sehari-hari, hal tersebut justru terjadi bukan hanya dalam kasus semangkuk baso namun justru dalam berbagai sektor termasuk pendidikan. Hadir sebagai salah satu contoh, salah satu guru bahasa inggris saya yang mengajari siswa-siswinya bahwasanya bahasa inggrisnya kebun binatang (zoo) adalah animal garden. Mirisnya, mayoritas seringkali terbelenggu oleh moralitas dan sopan santun yang seolah-olah melarang kita untuk membenarkan apa yang memang salah atau menyimpang dan memaksa kita untuk memakluminya.
Hal inilah yang kembali merekatkan saya kepada buku Genealogi Moral oleh Friedrich Nietszche. Bahwasanya moralitas sesungguhnya adalah suatu batasan fana yang lemah secara historis dan dengan demikian, harus senantiasa kita telisik terlebih dahulu secara personal guna menentukan nilai apa yang hendak diyakini dan nilai apa yang hendak dibuang.Â
Pengalaman membeli bakso seharga lima belas ribu inilah yang telah memberikan saya bukti lebih jauh lagi mengenai bahayanya moralitas yang terbentuk oleh konstruksi sosial tidak berdasar, dan terhadap ketimpangan akses yang justru akan mengantarkan kita kepada jurang keruntuhan yang didasarkan oleh kebodohan. Suatu harga yang sangat murah untuk menghadirkan sebuah pemikiran dan kesadaran akan suatu krisis yang mengintai, semoga lima belas ribu yang lainnya akan terus berdatangan dan menyadarkan secara berkala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H