Mohon tunggu...
Raina Salsabil
Raina Salsabil Mohon Tunggu... Mahasiswa - Political Science Student

Highly enthusiastic to help people by finding, improving, and fulfilling their true personal abilities and callings through training and development. A political science student with a vision of freedom to enchance individual liberty and equal opportunities. Actively participating in vast social activities to reach maximum exposure on gathering experiences and deeper knowledge. Having bold interest in social studies with a goal to understand better multiple sense of crisis and delivering solution towards the horrendous world problem.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kesadaran Individual di Ujung Tanduk

2 Mei 2022   23:06 Diperbarui: 2 Mei 2022   23:09 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berangkat dari John Stossel, dalam buku Politik dan Kekuasaan, saya sepakat dengan satu permasalahan yang kerap kita temui namun seringkali tidak disadari. Bahwasanya kekeliruan yang ditawarkan oleh pihak kiri dan kanan mengenai kontrol pemerintahan masih sering terjadi, pemerintah hadir sebagai kontrol terhadap ekonomi atau kontrol terhadap kehidupan personal masing-masing dari kita?

Seiring dengan berjalannya waktu dalam kehidupan bernegara, pemerintah tentu sudah menjadi kata yang tidak asing bagi seluruh individu di dunia. Pasalnya, sejak perkembangan kontrak sosial yang merupakan gagasan dari pemikir-pemikir politik dunia seperti Thomas Hobbes dan John Locke, kata 'negara' terlahir dan kemudian berkontruksi menjadi suatu badan yang kian kokoh dan berkembang dengan pesat dalam sudut kekuasaan dan kemampuannya. Kekuasaan dan kemampuan inilah yang ditunjukkan melalui hadirnya pemerintah sebagai pihak eksekutor dan 'sang pemasti' akan sistem negara yang dihadirkan guna mencegah kekacauan dan memastikan kesejahteraan. Dalam kata lain, negara pada awalnya hanya hadir sebagai sosok pengawas dan pelayan, dengan masyarakat sosial sebagai 'tuan utama'-nya. Namun seiring dengan berjalannya waktu, kekuasaan negara dan cakupan serta jangkauannya kian mengekspansi dirinya secara masif yang disekaligusi dengan terkikisnya kesadaran umat manusia atas identitas asli dari konsep negara tersebut. Alhasil, mayoritas dari kita kini hanya dapat melihat realitas yang terjadi dan merasa takut serta kecil atas dogmatisme tersebut: bahwasanya negara dengan segala komponennya, adalah sosok yang sejak dahulu kala memegang kendali kuasa yang absolut nan tak terkalahkan, tak bisa dilawan dan merupakan sumber tetap atas kebijakan dan acuan moralitas kehidupan.

Tentu hal ini menjadi diskursus yang sangat disayangkan dan sekaligus menjadi suatu growing sense of crisis yang sangat gawat dan mendesak dikalangan para pejuang kebebasan individu. Mengingat, kekeliruan ini telah menjadi sebuah konstruksi sosial yang mengekang, memenjarakan dan mencederai kebebasan umat manusia yang pada hakikatnya telah dimiliki dari jauh-jauh hari, sejak tiap-tiap dari mereka bahkan diakui secara hukum melalui pembentukan akta kelahiran dan kartu tanda penduduknya.

Manusia yang terlahir sebagai pakta individual, memegang dengan utuh segala bentuk hak kebebasannya untuk hidup sesuai dengan apa dicari dan diyakini. Namun apa yang kita lihat kini, pemerintah dan negara justru memegang kendali atas pengarahan dan juga pembatasan mengenai aspek-aspek kehidupan personal dari banyak individu. Hal tersebut tentu merupakan suatu kekeliruan yang sangat lucu apabila kita kembali menilik terhadap asal mula didirikannya suatu negara sebagai pengawas dan pelayan dari masyakarat, kini justru masyarakat-lah yang berperan sebagai budak dari sang tuan dengan belenggu rantai dan cambukan mengawasi tiap-tiap langkahnya. Lebih lucunya lagi, mayoritas dari kita menerima, memaklumi dan menganggap hal tersebut justru sebagai suatu hal yang 'nyaman'.  Bahkan, mayoritas dari kita seolah-olah lupa bahwasanya manusia adalah makhluk individual dengan segala kemampuannya, yang kemudian secara sadar dan sengaja menjadikan dirinya sosok yang menggantungkan semuanya terhadap pemerintah untuk mengatasi semua persoalan masyarakat layaknya orang tak berdaya dan nir kemampuan. Pertanyaannya, mengapa hal seperti ini bisa terjadi?

Berkaitan dengan perubahan sikap tiap-tiap komponen dari masyarakat sebagai makhluk individual yang menggantungkan dirinya secara penuh terhadap pemerintah dan negara, tentu kita tidak bisa menyalahkan secara penuh terhadap pihak-pihak yang mengikuti. Pasalnya, hal tersebut telah menjadi sebuah sistem yang ditetapkan sedemikian rupa oleh negara, ucapnya, untuk mengurangi kekacauan dan menciptakan stabilitas dalam urusan kewarnegaraan. Dalam kata lain, pemaksaaan melalui sistem berulang guna mencegah hadirnya perlawanan atas kekuasaan negara yang absolut. Namun, biarlah perihal mengenai sistem menjadi diskursus pada kali kesempatan yang lain karena akan membutuhkan bahasan dan tinjauan yang jauh lebih rumit dan holistik agar dapat mengantarkan kita kepada solusi yang komprehensif. Dalam kasus ini, marilah kita menitikberatkan fokus kita terhadap mengapa ini semua dapat terjadi: kemana perginya identitas tiap-tiap komponen masyarakat sebagai pakta individual sebagai landasan pemenuhan kebutuhan dan pemasti keadilan yang murni dan inklusif?

Tanpa perlu bertamasya lebih jauh kedalam dunia spiritual, saya percaya masing-masing dari pembaca meyakini bahwasanya tiap-tiap manusia mendapatkan kesempatan untuk hidup di dunia ini dengan tujuan dan karakteristik pendukungnya masing-masing. Dalam kata lain yang jauh lebih ringkas, masing-masing manusia mempunyai hakikatnya tersendiri sebagai kunci atas takdir yang beberapa orang yakini telah digariskan sedemikian rupa. Melalui kesadaran atas hal ini, manusia sudah sepatutnya kian mencari intisari atas dirinya sendiri, apa yang ia cari dan bagaimana caranya untuk mendapatkan hal tersebut guna menciptakan suatu aktualisasi diri. Aktualisasi diri inilah yang akan berguna serta memberikan dampak yang konstruktif bagi diri sendiri dan lingkungan sekitar, sebagaimana hal inilah yang telah dipraktikan oleh para filsuf, pemikir dan ilmuwan melalui inovasi-inovasi hingga bahkan revolusi yang berhasil mereka hasilkan. Permasalahannya dalam kasus ini, aktualisasi diri yang didasarkan pada hakikat justru diubah menjadi penyesuaian diri terhadap konstruksi sosial. Sehingga, mengakibatkan terkikisnya dan terkalahkannya, suatu bentuk kemurnian jiwa manusia sebagai pakta individual oleh suatu arus hegemoni yang dogmatik dan penuh manipulasi subjektif atas pihak-pihak dengan kuasa berlebih yang eksklusif. Bukankah hal tersebut merupakan penukaran hina yang sangat disayangkan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun