Dua komponen penting dalam menjaga dan memperkuat demokrasi adalah masyarakat sipil dan ruang publik. Masyarakat sipil menjaga, membela, dan mempromosikan masyarakat, sementara ruang publik menyediakan tempat bagi warga untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses politik. Namun, kedua komponen ini sedang menghadapi tantangan yang signifikan yang dapat membahayakan dasar demokrasi itu sendiri.
Indonesia telah menyaksikan banyak peristiwa yang menunjukkan bahwa ruang gerak masyarakat sipil semakin terbatas dalam beberapa tahun terakhir. Menurut laporan CIVICUS 2021, negara-negara dengan ruang sipil yang ditekan menempatkan 43,4% populasi dunia. Di Indonesia, ini ditunjukkan dengan kekerasan terhadap demonstrasi damai, tindakan kriminalisasi aktivis, dan pembubaran organisasi masyarakat sipil yang dianggap bertentangan dengan keyakinan pemerintah.
Salah satu contoh nyata adalah aksi protes terhadap revisi Undang-Undang Pilkada yang terjadi pada bulan Agustus 2024. Dalam aksi tersebut, aparat kepolisian menggunakan kekerasan untuk membubarkan demonstran, termasuk mahasiswa dan aktivis yang menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Menurut data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), banyak demonstran mengalami kekerasan fisik dan penangkapan massal. Tindakan ini menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap hak konstitusional warga untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Aksi protes yang terjadi pada Agustus 2024 terhadap revisi Undang-Undang Pilkada adalah contoh nyata. Polisi menggunakan kekerasan dalam aksi tersebut untuk membubarkan demonstran, termasuk aktivis dan mahasiswa yang menentang pemerintah. Banyak demonstran mengalami kekerasan fisik dan penangkapan massal, menurut data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Hal ini menunjukkan bahwa hak konstitusional warga untuk berpartisipasi dalam proses politik dilecehkan secara signifikan.
Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa penyempitan ruang gerak masyarakat sipil mempengaruhi kesehatan demokrasi secara keseluruhan, bukan hanya individu atau kelompok tertentu. Ketika masyarakat sipil dilecehkan, suara rakyat berkurang, dan pemerintah kehilangan instrumen penting untuk mengawasi akuntabilitas.
Dalam proses demokrasi, masyarakat sipil melakukan tiga peran utama yaitu advokasi, pemberdayaan (empowerment), dan kontrol sosial. Fungsi ini menjadi terhambat karena fokus pada ruang publik. Pertama, ketika organisasi masyarakat sipil takut untuk berbicara atau bertindak karena takut akan represi pemerintah, advokasi menjadi sulit. Kedua, orang tidak merasa aman untuk terlibat dalam aktivitas politik atau sosial, dan ketiga, kontrol sosial berkurang ketika media dan organisasi tidak dapat mengawasi tindakan pemerintah.
Secara keseluruhan, demokrasi diancam oleh pengurangan ruang publik. Sangat penting bagi kita untuk memperjuangkan hak-hak sipil dan memastikan bahwa ruang publik tetap terbuka bagi semua orang karena proses pengambilan keputusan akan cenderung menjadi otoriter dan tidak responsif terhadap kebutuhan rakyat.
Serangan digital terhadap pembela hak asasi manusia (HAM) semakin meningkat, dan banyak kasus intimidasi dan kriminalisasi terhadap aktivis dan jurnalis. Hal ini menimbulkan ketidakamanan bagi mereka yang berusaha mengkritik pemerintah.
Banyak organisasi masyarakat sipil menghadapi masalah mendapatkan dana, jadi mereka mulai mencari cara lain seperti crowdfunding untuk mendapatkan dana untuk operasi mereka. Penulis mengamati bahwa ruang gerak masyarakat sipil semakin terbatas karena oligarki politik mengumpulkan kekuasaan. Meningkatnya rasa tidak toleran dan disinformasi, yang mengganggu percakapan publik, memperburuk keadaan ini.
Ruang publik, terutama di internet, harus dibersihkan dari hoax dan ujaran kebencian. Penulis berpendapat bahwa diskusi dan debat publik yang konstruktif diperlukan untuk mencapai demokrasi yang baik. Ini membutuhkan penghormatan terhadap perbedaan dan komitmen untuk menciptakan prinsip demokrasi yang kuat.
Oleh karena itu, masyarakat sipil perlu mendapat perlindungan hukum yang memadai, khususnya dalam hal kebebasan berpendapat dan berkumpul. Pemerintah dan lembaga legislatif bisa merancang undang-undang yang melindungi hak-hak ini, serta memastikan implementasinya bebas dari penyalahgunaan kekuasaan. Pemerintah juga bisa membuka ruang partisipasi yang lebih luas, misalnya melalui diskusi publik, konsultasi kebijakan, dan forum-forum interaktif yang memungkinkan warga menyampaikan aspirasi. Keterbukaan ini akan menguatkan legitimasi keputusan dan mendorong transparansi dalam proses pengambilan kebijakan. Jika tidak, ancaman terhadap masyarakat sipil dan ruang publik akan terus merusak pilar-pilar demokrasi yang telah di bangun dengan susah payah. Keberlanjutan demokrasi di Indonesia sangat bergantung pada kemampuan semua pihak untuk menjaga integritas ruang publik dan memperkuat peran masyarakat sipil dalam proses politik.