Mohon tunggu...
Raihan Hudiana
Raihan Hudiana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pemerintah Harus Belajar

1 Januari 2017   17:42 Diperbarui: 1 Januari 2017   17:59 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu mengenai penggusuran permukiman kumuh di Jakarta belakang ini makin santer terdengar khususnya pada masa kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Layaknya sebuah sinteron kejar tayang, penggusuran ini terjadi berkali-kali dalam kurun waktu yang cukup singkat. Sebut saja penggusuran di Bukit Duri, penggusuran di Pusat Pasar Ikan Jakarta Utara, dan penggusuran di Rawajati. Hampir semua penggusuran yang dilakukan Pemerintah menghasilkan pilu di hati masyarakat Jakarta.

Upaya Pemerintah DKI Jakarta melakukan penggusuran merupakan implikasi dari Program Kotaku (Kota Tanpa Kumuh) yang dicanangkan oleh Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Tujuan dari program ini tidak lain untuk meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di kawasan kumuh perkotaan dengan sasaran pengentasan permukiman kumuh perkotaan menjadi 0 Ha melalui pencegahan dan peningkatan kualitas permukiman kumuh seluas 38.431 Ha.[1]

Tujuan yang dicanangkan pemerintah dalam mengentaskan permukiman kumuh memang bukan sebuah hal yang buruk, justru hal tersebut merupakan hal yang patut diacungi jempol, namun apakah sudah sepatutnya kita sebagai rakyat biasa yang diperintah oleh penguasa (pemerintah) menerima begitu saja segala tindak-tanduk yang dilakukan pemerintah dalam mencapai tujuannya tersebut. Sedangkan kita belum mengetahui apakah tindakan yang dilakukan Pemerintah telah memenuhi prosedur yang tepat.

Ambil salah satu contoh kasus penggusuran di Bukit Duri. Dalam tinjauan hukum, tindakan yang dilakukan pemerintah dengan menggusur permukiman kumuh di Bukit Duri jelas tanpa dilandasi dasar hukum yang tepat. Pemerintah Kota tidak menghargai proses hukum karena tetap melakukan pembongkaran meskipun ada class actiondari warga Bukit Duri di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Sebagaimana diatur dalam UU No. 5 tahun 1986 Pasal 67 ayat (2) tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pemerintah jelas melanggar ketentuan undang-undang. Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa Penggugat dapat mengajukan permohonan agar Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal ini Pemerintah tetap melaksanakan eksekusi meskipun belum ada putusan dari TUN. Kemudian diperkuat dengan Pasal 67 ayat (4a) yang menyatakan permohonan sebagaimana Pasal 67 ayat (2) dapat dikabulkan apabila mengakibatkan kepentingan penggugat yang sangat dirugikan apabila keputusan Tata Usaha Negara yang digugat tetap dilaksanakan. Warga Bukit Duri jelas akan sangat dirugikan dengan adanya putusan mengenai penggusuran. Dengan demikian, seharusnya pemerintah kota tidak melakukan penggusuran terlebih dahulu sampai keluarnya putusan yang berkekuatan hukum tetap dari Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan begitu, jelas bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah kota merupakan sebuah tindakan cacat hukum.

Hasil dari penggusuran yang dilakukan Pemerintah ujung-ujungnya pasti akan dilakukan relokasi ke rumah susun, tempat yang lebih baik (katanya). Namun seolah tidak belajar dari pengalaman terdahulu, solusi yang diberikan pemerintah layaknya obat yang tidak menyembuhkan penyakit. Upaya pemindahan permukiman yang digusur ke rumah susun membuat masalah baru bagi masyarakatnya. Banyak warga mengeluh biaya rumah susun yang terlampau tak terbayar. Rumah susun bertipe 36 dibandrol dengan harga 1,2jt per bulan menjadi beban berat bagi warga yang pindah ke tempat baru.

[2] Tanpa jaminan pekerjaan yang jelas, ujung-ujungnya mereka pindah ke tempat yang lebih murah akibat tidak dapat melunasi biaya bulanan rumah susun. Selain itu, lokasi pemindahan permukiman yang cukup jauh dari tempat asal juga membuat warga harus beralih profesi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. kemudian keluhan mengenai sekolah untuk anak-anak dan tempat kerja yang jauh juga menjadi permasalahan atas dipindahkannya permukiman.

Seharusnya, pemerintah bersikap terbuka akan masukan dari rakyatnya. Dalam kasus Bukit Duri misalnya, Komunitas Ciliwung Merdekan telah menawarkan solusi berupa perubahan permukiman kumuh menjadi kampung susun bantaran kali. Tujuan yang dicapai juga akan terealisasikan. Lebar sungai seluas 35 meter yang direncanakan juga dapat terlaksana. Sirkulasi jalan seluas 5 meter juga telah direncanakan agar mobil pemadam kebakaran dan ambulancedapat masuk. Namun lagi-lagi pemerintah bersikap seolah malaikat yang selalu benar. Padahal dampak dari solusi yang diberikan tidak menyembuhkan masalah yang ada.

Mungkin dengan begini rakyat yang memiliki ekonomi rendahan dapat tersingkir dari hiruk pikuk ibu kota dengan tidak diberikannya jaminan pekerjaan serta solusi terbaik atas penggusuran yang telah dilakukan Pemerintah.


[1] www.p2kp.org/pustaka/files/sosnas/.../Sosnas_PROFILE_KOTAKU.pdf

[2] https://www.tempo.co/read/opiniKT/2016/09/30/13052/penggusuran-bukit-duri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun