Mohon tunggu...
raihannaufalsyafiakmal
raihannaufalsyafiakmal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

orang yang suka hal baru

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Dinasti atau Dinasti Politik

13 Desember 2024   14:00 Diperbarui: 13 Desember 2024   13:58 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.app.goo.gl/JXwKU2AiakkuNiGg8

Beberapa waktu lalu, Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo, menarik perhatian publik karena mengusung semua anggota keluarganya menjadi bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Publik menilai hal itu sebagai bentuk upaya membangun dinasti politik yang dapat merusak demokrasi.

Tidak berhenti sampai disitu, publik kembali dikejutkan dengan manuver politik yang dilakukan oleh salah satu putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang bergabung lalu langsung menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Kaesang terjun ke dunia politik menyusul jejak ayahnya, kakaknya Gibran Rakabuming Raja, dan iparnya Boby Nasution. Hal ini juga dinilai publik sebagai bagian dari rencana untuk melanggengkan dinasti politik keluarganya.

Dari sumber, Ketua Program Studi Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Dr. Lusi Andriyani, M.Si., menjelaskan ada dua konteks berbeda yang harus dipahami ketika membahas isu tersebut, yaitu politik dinasti atau dinasti politik.

Seperti yang sudah dijelaskan politik dinasti adalah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait hubungan keluarga, misalnya ayahnya mewarisi kekuasannya kepada anaknya. Sistem seperti ini lazim digunakan oleh negara yang menganut sebuah sistem monarki.

Beda halnya dengan dinasti politik, yang dengan sengaja dikonstruksi bahwa kekuasaan hanya boleh dikuasai oleh satu keluarga saja.

Lusi menjelaskan bahwa dinasti politik ini memiliki dampaak negatif terhadap demokrasi di Indonesia. Karena politik ini lebih mengutamakan kelompoknya dari pada masyarakat.

“Dari kedua hal itu (politik dinasti dan dinasti politik), memang yang lebih terasa dampak negatifnya adalah dinasti politik. Karena ada upaya dengan sengaja merekonstruksi kondisi keluarganya untuk ditempatkan ke dalam kekuasaan tertentu, untuk kepentingan kelompoknya,” tutur Lusi.

Kendati kedua hak ini tidak memiliki perbedaan yang mencolok, sama-sama melibatkan keluarga, kerabat, ataupun saudara, namun hal yang perlu diperhatikan adalah soal kompetensi bakal calonnya sendiri.

“Dua konsep ini memang tidak bisa dilepaskan begitu saja antara politik dinasti dan dinasti politik. Keduanya sama-sama melakukan regenerasi dan reproduksi. Regenerasi itu diperbolehkan, misal kita mempunyai anak yang kelak diarahkan ke kompetensi yang sama. Tetapi, kalau mereproduksi itu ada kesan memaksakan, ketika satu keluarga tidak memiliki kompetensi yang sesuai hanya untuk melanggengkan kekuasaan,” pungkas Lusi.

“Dalam konteks ini, dinasti politik sah-sah saja, ketika seseorang mencoba memberikan ruang untuk keluarganya yang memiliki kompetensi. Catatan penting dari permasalahan tersebut yaitu satunya dipaksakan ketika tidak memiliki kompetensi untuk meneruskan atau melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu,” tegas Lusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun