Denting waktu terasa cepat berlalu, ketika hati ini terisi dengan pelajaran yang berarti. Itulah yang saya rasakan selama dua bulan menjalani Pengenalan Lapangan Persekolahan (PLP) di MTsN 4 Cirebon, dari 27 Agustus hingga 31 Oktober. Perjalanan panjang yang ditempuh melalui banyak dinamika ini, memberikan saya makna tersendiri melebihi sekadar pemahaman tentang dunia pendidikan, tetapi juga pelajaran hidup yang sangat berarti. Â
Sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan IPS, tugas utama saya di sana adalah mengajar mata pelajaran IPS. Namun, pada akhirnya dinamika yang harus saya hadapi memaksa saya untuk melampaui diri. Ada momen-momen di mana saya diminta mengajar mata pelajaran lain ketika guru berhalangan hadir. Bersama sembilan rekan dari Universitas Islam Negeri Siber Syekh Nurjati Cirebon, kami menjalani pengalaman ini dengan penuh suka cita. Sebagai sebuah tim yang baik, tentu kami berasal dari jurusan yang berbeda, tetapi di bawah satu atap MTsN 4 Cirebon ini, kami menjadi satu keluarga baru yang punya mimpi bersama. Â
Saya mendapatkan tanggung jawab untuk mengajar tiga kelas wajib, yakni kelas 8A hingga 8C. Selain itu, saya juga sering masuk ke kelas lain sesuai kebutuhan. Hikmah yang saya dapatkan yaitu mengajar bukan hanya soal menyampaikan materi, tetapi juga membangun hubungan yang erat dengan siswa. Di sinilah saya belajar bahwa menjadi seorang guru bukan hanya profesi, melainkan panggilan jiwa yang penuh dedikasi. Â
Rutinitas kami tidak hanya sebatas mengajar. Kami juga terlibat dalam berbagai kegiatan sekolah. Setiap pagi, kami berdiri di gerbang untuk menyambut siswa dengan senyuman sambil menerapkan prinsip 5S (Senyum, Salam, Sapa, Sopan, dan Santun). Kami melatih siswa dalam persiapan upacara, menjadi juri dalam lomba pidato tiga bahasa, menjaga perpustakaan, dan bahkan membantu guru dalam berbagai kegiatan. Dalam setiap peran yang kami jalani, tentunya memberikan warna tersendiri dalam perjalanan hidup ini. Â
Kedekatan emosional dengan siswa menjadi salah satu kenangan paling berharga. Saya merasakan betapa antusiasnya mereka ketika saya masuk kelas, bagaimana mereka menyambut setiap materi yang saya sampaikan, dan bagaimana hubungan itu berkembang menjadi persahabatan kecil yang penuh kehangatan. Ketika mendekati akhir masa PLP, banyak siswa yang dengan polosnya mengatakan bahwa mereka berharap suatu saat saya kembali mengajar di sana. Bahkan, mereka memberikan kado perpisahan yang sederhana tetapi penuh makna. Â
Tidak hanya dengan siswa, hubungan dengan guru pamong, Pak Salam, juga menjadi cerita yang tak terlupakan. Beliau selalu sabar membimbing dan berbagi ilmu, bahkan sempat berujar bahwa ia berharap suatu hari saya bisa menggantikan posisinya di MTsN 4 Cirebon. Ucapan itu begitu membekas, memberi saya dorongan untuk terus berjuang di jalur pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Â
Kenangan manis lainnya datang dari Ibu Nunung, penjual nasi lengko di depan sekolah. Dengan porsinya yang pas dan harga lima ribu rupiah, nasi lengko Ibu Nunung menjadi penyelamat saat lapar. Bukan hanya tentang nasi lengko yang lezat, tetapi juga obrolan ringan kami yang selalu membawa suasana santai di tengah kesibukan PLP. Â
Peran dosen pembimbing lapangan yaitu Miss Osi dan guru-guru MTsN 4 Cirebon juga tidak bisa dilupakan. Mereka dengan hangat menerima kami, membimbing dengan penuh perhatian, dan memberikan kesempatan untuk berkembang. Dukungan dari mereka membuat kami merasa menjadi bagian dari keluarga besar sekolah ini. Â
Dua bulan mungkin adalah waktu yang terasa singkat, tetapi kenangan yang tercipta akan selalu hidup dalam ingatan. MTsN 4 Cirebon bukan hanya tempat praktik mengajar, tetapi juga rumah sementara yang mengajarkan saya tentang arti perjuangan, dedikasi, dan keindahan hubungan manusia. Saya percaya, setiap perpisahan selalu menyimpan harapan untuk pertemuan kembali. Â
"Cerita indah seringkali terjadi dalam waktu singkat, tetapi maknanya bertahan sepanjang hayat."