Mohon tunggu...
Raihan Fadhillah
Raihan Fadhillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - S1 Ilmu Politik Universitas Airlangga

Geopolitics Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Politik

Yugoslavia dan Indonesia : Dua Negara Multietnis Yang Nasibnya Berbanding Terbalik

22 Desember 2024   14:55 Diperbarui: 22 Desember 2024   14:54 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno bersama Presiden Yugoslavia, Josip Broz Tito (sumber : gettyimages.com)

Yugoslavia dan Indonesia adalah dua negara yang pernah menjadi simbol keberagaman etnis dan budaya. Kedua negara ini sama-sama terdiri dari berbagai kelompok etnis, bahasa, dan agama. Namun, nasib keduanya berbeda secara drastis. Indonesia berhasil mempertahankan persatuannya meskipun menghadapi banyak tantangan, sementara Yugoslavia hancur berkeping-keping setelah konflik panjang yang merenggut banyak nyawa. Kisah kedua negara ini memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana mengelola keberagaman di tengah berbagai tekanan dan perubahan zaman.

Yugoslavia, yang berdiri pada tahun 1918 setelah Perang Dunia I, adalah negara yang menyatukan berbagai kelompok etnis di wilayah Balkan. Wilayah ini mencakup Serbia, Kroasia, Bosnia, Slovenia, Montenegro, dan Makedonia, serta kelompok minoritas lainnya. Berbagai bangsa ini memiliki sejarah panjang konflik antaragama dan kebudayaan. Namun, melalui semangat nasionalisme Yugoslavia, negara ini berhasil berdiri di bawah satu bendera. Tokoh utama yang menyatukan Yugoslavia adalah Josip Broz Tito, seorang pemimpin kharismatik yang membawa stabilitas melalui sistem komunis yang relatif inklusif. Tito mempromosikan slogan “persatuan dan persaudaraan” yang mendorong semua kelompok etnis untuk hidup berdampingan.

Sementara itu, Indonesia meraih kemerdekaannya pada tahun 1945 setelah berjuang melawan penjajahan Belanda. Sebagai negara kepulauan yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menyatukan lebih dari 1.300 kelompok etnis yang berbicara lebih dari 700 bahasa daerah. Namun, para pendiri bangsa seperti Sukarno dan Hatta berhasil merumuskan dasar negara yang bernama Pancasila, yang menjadi perekat utama bangsa. Pancasila mengakui keberagaman agama, budaya, dan adat istiadat sebagai kekuatan bersama.

Pada awal berdirinya, kedua negara ini menunjukkan potensi besar sebagai negara multietnis yang stabil. Yugoslavia di bawah Tito menikmati periode panjang stabilitas dan kemajuan ekonomi. Begitu pula Indonesia yang, meski sempat menghadapi gejolak seperti pemberontakan DI/TII dan krisis ekonomi di era awal kemerdekaan, tetap berhasil mempertahankan kesatuannya. Dalam fase ini, keberadaan pemimpin yang kuat dan visi nasional yang inklusif menjadi faktor kunci keberhasilan kedua negara.

Namun, setelah kematian Tito pada tahun 1980, Yugoslavia mulai goyah. Kepemimpinan pasca-Tito tidak memiliki kemampuan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan di antara kelompok-kelompok etnis. Dominasi Serbia sebagai kelompok mayoritas mulai dirasakan oleh Kroasia, Bosnia, dan Slovenia sebagai ancaman. Ketimpangan ekonomi antarwilayah juga semakin memperparah ketegangan. Ketika nasionalisme etnis mulai tumbuh di berbagai wilayah, konflik pun tak terelakkan. Pada awal 1990-an, perang saudara pecah, yang menyebabkan Yugoslavia terpecah menjadi beberapa negara independen. Konflik ini berlangsung dengan kekerasan yang luar biasa, termasuk genosida di Bosnia yang menjadi salah satu tragedi kemanusiaan terburuk di abad ke-20.

Sebaliknya, Indonesia juga menghadapi tantangan besar yang serupa. Pada tahun 1965, Indonesia mengalami krisis politik besar setelah kudeta yang gagal, yang diikuti oleh pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain itu, separatisme di Aceh, Papua, dan Timor Timur menjadi ancaman serius terhadap kesatuan negara. Meski demikian, Indonesia berhasil melewati masa-masa sulit ini. Kepemimpinan Soeharto yang otoriter berhasil menekan gerakan separatis dengan tangan besi, meski sering kali mengorbankan hak asasi manusia.

Setelah era Reformasi pada tahun 1998, Indonesia menghadapi tantangan baru dengan munculnya konflik horizontal, seperti kerusuhan antaretnis di Kalimantan dan Maluku. Namun, reformasi politik yang diterapkan setelah jatuhnya Soeharto membuka jalan bagi demokrasi yang lebih inklusif. Pemerintah Indonesia mengadopsi desentralisasi, memberikan otonomi lebih besar kepada daerah-daerah, yang membantu mengurangi ketegangan. Selain itu, Pancasila tetap menjadi dasar negara yang menguatkan identitas nasional di tengah keberagaman.

Perbedaan mendasar antara Yugoslavia dan Indonesia terletak pada bagaimana masing-masing negara mengelola keberagaman mereka. Di Yugoslavia, identitas etnis sering kali menjadi sumber konflik karena tidak adanya mekanisme yang efektif untuk mengakomodasi perbedaan. Sistem yang diterapkan Tito, meski berhasil untuk sementara, tidak mampu bertahan tanpa kehadiran kepemimpinan yang kuat. Ketika Tito meninggal, tidak ada sistem politik yang cukup inklusif untuk menjaga stabilitas.

Di sisi lain, Indonesia sejak awal menekankan pentingnya integrasi nasional melalui pendekatan yang lebih inklusif. Pancasila menjadi landasan ideologi yang menghargai keberagaman sebagai bagian dari identitas bangsa. Meski menghadapi banyak tantangan, Indonesia tetap berkomitmen untuk menjaga persatuan melalui dialog dan reformasi. Selain itu, keberadaan bahasa Indonesia sebagai lingua franca juga menjadi salah satu faktor penting yang membantu menyatukan masyarakat dari berbagai latar belakang etnis.

Peran masyarakat juga tidak bisa diabaikan dalam perbedaan nasib kedua negara ini. Di Indonesia, semangat gotong royong dan toleransi budaya menjadi nilai-nilai yang mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini membantu masyarakat untuk lebih menerima perbedaan dan mencari solusi damai dalam menghadapi konflik. Sebaliknya, di Yugoslavia, warisan konflik sejarah antara kelompok-kelompok etnis sulit untuk dihilangkan, yang akhirnya menjadi api dalam konflik bersenjata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun