Corak kehidupan sederhana menjadi identitas dari keseharian suku pedalaman, kehidupan yang dibalut oleh perasaan bersyukur itu ditunjukkan mereka lewat gema suara perburuan. Prinsip kehidupan suku pedalaman yang sederhana, kemudian memantik kelestarian pada bertahannya ekosistem alam. Kecukupan akan kebutuhan hidup yang diperoleh dari alam pada akhirnya membawa suku pedalaman dapat terus eksisten dalam menjalani kehidupan yang telah berlangsung berabad lamanya. Hutan sebagai sumber segala kehidupan mereka selanjutnya menyediakan kebutuhan itu sejak dari leluhur mereka tinggal. Namun, seiring berjalannya waktu, keberlanjutan itu lambat laun mulai terancam. Kawasan  hutan yang beralih lahan hingga hasil buruan yang semakin menipis menjadi bukti dari adanya campur tangan manusia di luar hutan.
Sebagai contoh lainnya, realitas itu begitu tepat kiranya digambarkan lewat satu tembang milik Iwan Fals yang berjudul "Balada Orang-Orang Pedalaman". Dalam nyanyiannya tersebut, kita dikisahkan bagaimana nasib orang-orang pedalaman yang lugu dan memaksa mereka untuk melawan kapitalisme yang disimbolkan lagu dengan orang-orang kota yang licik. Dengan memanfaatkan keluguan orang pedalaman mereka membredel hutan sebagai sasaran untuk kepentingan egois mereka. Diversitas hutan yang semakin terancam selanjutnya menunjukkan kita bagaimana hutan seperti tidak diperdulikan lagi, yang pada akhirnya menimbulkan kesedihan bagi orang-orang pedalaman. Dalam realitas kesehariannya, kesedihan itu juga terpancar pada kehidupan suku anak dalam di Jambi, dalam suatu unggahan video yang di upload oleh tribun bengkulu berjudul "Binatang Saja Ada Perhatian Pemerintah, Curhat Pilu Suku Anak  Dalam Jambi Selalu Diusir Dari Hutan", kita ditampilkan oleh adegan protes keresahan suku anak dalam yang selalu diusir dari hutan pemerintah (HP). Kawasan hutan yang dibatasi serta peralihan lahan untuk pohon sawit mengakibatkan mereka tidak memiliki tempat untuk tinggal. Hal inilah yang selanjutnya membawa mereka pada jurang keterpinggiran.
Melalui contoh keduanya, kita sebetulnya dapat menyadari betapa pentingnya pengakuan terhadap keberadaan mereka. Meskipun pemerintah telah melindungi hak-hak kehidupan mereka secara formal, namun masih banyak dari masyarakat suku pedalaman yang kehidupannya terus terancam; pembakaran hutan, deforestasi, hingga perburuan liar, menjadi tantangan yang terus dihadapi oleh orang suku pedalaman. Untuk itu, menjaga eksistensi suku pedalaman kemudian menjadi suatu pekerjaan yang sangat penting untuk dilakukan, hal ini bertujuan agar orang-orang tahu tentang keberadaan mereka. Tidak hanya sekadar menghormati kehidupan adat suku pedalaman, namun harus pula diartikan dengan berbagai bentuk kegiatan nyata. Menghilangkan stigma keterbelakangan dengan menghadirkan keberadaan mereka pada dunia luar merupakan salah satu jalan untuk mencapai usaha tersebut. Dengan adanya simpati masyarakat, maka kehidupan suku pedalaman dapat menjadi perhatian khusus yang sulit untuk digubris. Di Indonesia, implementasi dari wacana semacam ini sebenarnya telah banyak diupayakan, salah satu bentuk konkretnya adalah melalui festival budaya.
Di Kutai Kartanegara, pelaksanaan Festival Suku Pedalaman (2021) menjadi satu dari banyak contoh upaya pelestariaan kebudayaan adat Dayak pedalaman. Lewat festival tersebut kita ditampilkan berbagai bentuk kebudayaan khas dayak, mulai dari tari-tarian, ritual, pakaian adat, hingga acara pernikahan. Selain di Kalimantan, jauh di tengah pedalaman Papua, Festival Budaya Lembah Baliem juga menjadi contoh relevan lainnya. Festival yang rutin digelar sejak tahun 1989 tersebut, kini telah menjadi festival adat terbesar yang melibatkan tiga suku pedalaman Papua di dalamnya seperti Dani, Yali, dan Lani. Lewat atraksi perang kolosalnya, kini (FBLB) telah menjadi destinasi yang menarik banyak perhatian bahkan hingga mancanegara.
Bagi mayoritas suku pedalaman di Indonesia, penyelenggaraan festival budaya seperti ini menjadi suatu keberkahan tersendiri bagi mereka. Selain sebagai sarana untuk mempertahankan tradisi serta identitas budaya, festival perayaan tersebut tampaknya juga berhasil untuk menjaga eksistensi kehidupan mereka pada dunia luar. Keuntungan yang diperoleh juga tidak hanya sebatas pada terjaganya warisan leluhur namun juga berdampak pada tempat mereka bernaung hidup, yakni hutan. Melalui festival yang diadakan, berbagai pesan luhur secara tidak langsung juga tersampaikan lewat atraksi yang di tampilkan, seperti pentingnya menjaga alam serta kebudayaan.
Walaupun begitu, meskipun di beberapa daerah pelaksanaan festival serupa juga telah diupayakan oleh pemerintah, namun perlakuan itu tampaknya tidak berlaku untuk suku pedalaman di sebagian daerah lainnya. Masalah popularitas, urgensi, serta kepedulian masyarakat serta pemerintah yang rendah membuat hal tersebut dirasa belum perlu. Perlakuan setengah-setengah untuk mengangkat eksistensi suku pedalaman kemudian hanya terus bergaung dalam pusara "kepedulian semu" yang tidak menunjukan hasil kemajuan. Atensi yang rendah hingga keterbatasan biaya menjadi problem dari tidak tercanangkannya program festival semacam ini. Konsistensi pelaksanaan acara juga terus menjadi pertanyaan, seperti misalnya perayaan Festival Suku Akit (2013) yang hanya berlangsung sekali tanpa adanya kelanjutanya, atau Festival Tobelo (2022) yang masih menjadi angan-angan dan tidak terlaksana di tahun selanjutnya. Hal inilah yang menjadi bukti ketidakpedulian kita terhadap nasib suku pedalaman.
Untuk itu, sebuah solusi kemudian diberikan. Jika dalam tingkat regional atensi itu tidak didapatkan, maka perayaan macam serupa harus ditingkatkan dalam region yang lebih luas, dan melibatkan seluruh suku pedalaman. Sudah sejak tiga dekade yang lalu, acara semacam ini sebenarnya sudah pernah terselenggara. Lewat sebuah acara bertajuk Festival Seni Budaya Masyarakat Pedalaman (FSBMP) se-Asia Pasifik (1983) tersebut kita disuguhkan oleh berbagai pertunjukan seni dan budaya serta seminar terkait suku pedalaman. Festival yang dihadiri oleh 857 peserta dari 15 provinsi dan negara-negara Asia lainnya itu juga memberi pengalaman berbeda dari festival regional lainnya. Keberagaman antar kesatuan kemudian memberikan kita pengalaman yang jauh lebih menarik, mulai dari penampilan tarian suku kubu yang mengandung magis dan membuat kepala penarinya kesurupan, suku sakai dengan pengobatan tradisionalnya yang ampuh, suku laut dengan tariannya yang mengguncang panggung, atau suku asmat dengan tarian perangnya. Semuanya disuguhkan dalam satu bagian acara, dalam suatu harmoni yang dibalut dalam festival perayaan seni dan budaya. Kehadiran ribuan orang suku anak dalam di acara tersebut juga menanggung kebingungan oleh masyarakat pada waktu itu, barisan orang bercawat serta berpakaian kulit rusa yang berlalu lalang di jalan, seolah membawa pesan yang berkata "bahwa kami ada".
Dengan terlaksananya festival budaya semacam ini, koeksistensi tradisi serta eksistensi antar suku pedalaman kemudian akan terangkat. Kesamaan nasib yang dipertanggungkan juga menjadi pelecut bagi para suku tersebut untuk saling berinteraksi, mengambil hikmah, serta membawa pelajaran baru untuk diceritakan kepada sanak saudara di hutan. Selain itu, dengan adanya kolektifitas dari ritus-ritus yang ditampilkan, secara tidak langsung  juga menambah wawasan yang baru terhadap kekayaan kebudayaan kita. Kemisteriusan yang selama ini mendekam dalam keseharian suku-suku tersebut pada akhirnya dapat tersingkap dan tidak lagi menjadi fantasi belaka yang dapat disalahgunakan.
Jika kita melihat perayaan festival yang terjadi di masa lalu, upaya  keberhasilan tersebut juga tidak  lepas dari peran pemerintah pada waktu itu. Namun jika kita melihat situasi yang terjadi saat ini, pelaksanaan festival seperti serupa nampaknya sulit untuk diwujudkan kembali. Jika dilihat secara kasat mata, fokus pemerintah nampaknya masih berkutat pada hal-hal teknikal terkait pemajuan kehidupan orang suku pedalaman, menyuapi mereka dengan modernitas, dengan membuat rumah-rumah singgah atau dengan memberi mereka bantuan sosial. Dalam sudut pandang yang lebih humanis hal-hal semacam itu mungkin menjadi suatu perlakuan yang tepat terhadap nasib kehidupan mereka, namun dengan perlakuan yang terus berulang tersebut, lambat laun juga akan menjadi bumerang yang akan mengikis tradisi kehidupan mereka, yang sejak dahulu bergantung pada alam. Untuk itu, memberi panggung seperti pelaksanakan festival kebudayaan menurut saya menjadi upaya yang lebih tepat, selain sebagai cara untuk mempertahankan tradisi, hal ini juga menjadi kesempatan untuk mengukir keberadaan mereka pada dunia luar.
Pada akhirnya semua jawaban akan tertuju pada siapa yang akan duluan bergerak. Masyarakat, LSM, atau Pemerintah yang akan memulai ini?, namun yang patut saya harapkan adalah peran para anak-anak muda, dengan semangat pemberdayaan yang masih berkobar, anak-anak muda diharapkan mampu untuk berswadaya dan berkolaborasi dengan suku pedalaman juga dengan instansi terkait, menciptakan suatu komunikasi dan membentuk kepercayaan kepada mereka, termasuk dengan memberi perhatian terhadap nasib hidup mereka. Inovasi seperti pelaksanaan festival ini bukan menjadi suatu keharusan dan priotisasi, namun dengan eksistensi yang terus-terusan tergerus pada akhirnya membutuhkan ruang untuk dibuka dan dikembangkan, mengandalkan potensi kebudayaan menjadi salah satu sarana yang ampuh untuk menjawab itu semua dan pelaksanaan festival menjadi medium yang tepat untuk menjaga eksistensi mereka. Anak-anak muda yang sering bersentuhan dengan pelaksanaan festival, seperti festival musik atau filantropi seharusnya bisa menyalurkan pengalaman pengalaman tersebut pada penyelanggaraan acara semacam ini, menciptakan ide dan kreativitas serta menerapkan pengalaman mereka dengan berkontribusi pada penjagaan kehidupan orang suku pedalaman. karena kita tidak tahu sampai kapan mereka akan terus hidup di hutan dan sampai kapan budaya dan tradisi mereka akan bertahan, untuk itu kita harus terus berjuang mencegahnya, Salam pemberdayaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI