Sebuah diskusi mengenai politik Dinasti sudah terjadi sejak lama, bahkan sudah lama terjadi sejak zaman Romawi Kuno. Praktik seperti ini sudah dicontohkan oleh para raja-raja sebelum nya, sebut saja kerajaan Florence di Italia pada tahun 1865 yang menghendaki anak atau keturunannya menjadi pewaris tahta, atau bahkan kerajaan Inggris yang sampai saat ini masih dengan sistem monarki nya. Seyogyanya praktik politik Dinasti hanya dilakukan oleh negara-negara yang memiliki sistem monarki ( kerajaan turun temurun).Â
Dalam negara yang menganut sistem demokrasi, politik Dinasti dianggap sebagai gaya feodal yang selalu membatasi hal setiap warga negara. Akan tetapi tak sedikit negara demokrasi yang tetap mempraktikkan politik Dinasti pasca abad pencerahan di Barat 1968. Bahkan negara yang menganut sistem demokrasi yang matang sekalipun, yakni Amerika Serikat masih terdapat praktik politik Dinasti era Bush maupun Clinton, atau di negara maju seperti Singapore pernah dipimpin oleh Dinasti Le Kwan Yue
Lalu persoalan Politik Dinasti Dimana?Â
Sebuah pertanyaan yang masih menjadi pro dan kontra di tengah masyarakat demokratis sampai hari ini. Apakah politik Dinasti dianggap berbahaya? Menggunakan kacamata Demokrasi, politik Dinasti semestinya sudah tidak ada lagi. Alasan kuat dibalik itu terdapat hak-hak setiap warga negara yang dibatasi, bahkan menimbulkan nepotisme dalam sistem pemerintahan. Praktik Dinasti hanya menguntungkan bagi kelompok-kelompok Bourjuasi, sehingga ruang bagi yang memiliki potensi tidak terekspos. Itulah kenapa Pierre Bourdieu mengatakan "Ranah" menjadi pertarungan bagi kelompok Bourjuasi yang memiliki modal.Â
Disisi lain, politik Dinasti justru berkembang dalam sistem negara yang demokratis, dan tidak memiliki dinding penghalang. Contoh negara Amerika dan Singapura salah satu negara maju yang pernah dikuasai oleh Dinasti. Amerika dan Singapura meskipun dikuasai oleh beberapa kelompok Dinasti, ruang kebebasan publik serta kesejahteraan masyarakat menjadi perhatian utama. Singapura dengan Dinasti Kwan Yue berhasil menjadi negara industri maju karena memiliki pelabuhan internasionalnya. Masyarakat Singapura di era Lee Kwan Yue dituntut untuk memiliki pengahasilan untuk disimpan di Bank Negara nya sendiri.Â
Akan tetapi praktik Dinasti dalam negara yang belum memiliki tingkat kematangan demokrasi membuat dinding penghalang , karena masyarakat belum siap secara kematangan ekonomi dan politik.
Apakah politik Dinasti baik atau buruk?Â
Praktik politik Dinasti harus dilihat dari dua sisi. Bagi negara demokrasi yang sudah matang, sah-sah saja dilakukan karena masyarakat nya sudah tertata rapi dan mencapai angka kesejahteraan yang cukup tinggi. Namun bagi negara yang setengah demokrasi, sebaiknya praktik tersebut tidak dilakukan. Hal tersebut justru akan membentuk Feodalisme dalam pikiran masyarakat.
Negara yang sedang berkembang secara politik maupun budaya, praktik politik Dinasti tidak diperbolehkan karena akan merusak citra Demokrasi yang sedang dibangun, serta berpotensi praktik KKN semakin merajalela mengingat tidak adanya pengawasan yang ketat sistem yang sedang dibangun. Oleh karena nya praktik Dinasti di negara yang sedang berkembang akan merusak pola pikir masyarakat dan menambahkan sifat pesimisme bagi setiap warga negara.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H