Mohon tunggu...
Raihan Afif
Raihan Afif Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pembelajaran Pandemi dalam Pandangan Ivan Illich (Deschooling Society)

22 Desember 2022   18:23 Diperbarui: 22 Desember 2022   18:37 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pandemi pertengahan 2020 menjadi awal pembelajaran daring. Hal ini dilaksanakan karena Corona Virus Desease (COVID-19) menyebar lewat droplets yang keluar saat seseorang batuk atau bersin (Kemenkes, 2020). Inilah alasan dasar mengapa masyarakat diminta beraktivitas dari rumah juga menjalankan protokol kesehatan secara ketat. Dalam praktiknya, aktivitas dari rumah ini dilaksanakan melalui koneksi internet, dengan beragam aplikasi digital.

Pembelajaran daring yang sudah berjalan, kemudian mendapatkan kritik dari berbagai pihak. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (Mendikbud), Nadiem Makarim, menyatakan bahwa PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) menjadi loss learning terbesar sepanjang sejarah pendidikan Indonesia (disampaikan dalam rapat dengan Gubernur Sumatera Utara pada tahun 2021). 

Jika mengacu pada Kurikulum 2013 yang dilaksanakan, dengan penekanan bahwa guru adalah fasilitator yang artinya memfasilitasi keakftifan serta kreativitas murid dan bukan hanya sekadar pengajar satu arah, PJJ seharusnya meningkatkan keingintahuan peserta didik. Seperti yang dikemukakan oleh Ivan Illich, bahwa pendidikan harus bertujuan memberikan kebebasan serta akses terhadap informasi. Bukankah PJJ bergerak demikian?

Direktorat Jenderal Sekolah Dasar (Ditpsd) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (Kemendikbud) menjelaskan bahwa ada dua metode BDR (Belajar Dari Rumah) yang dapat dilaksanakan, yaitu PJJ dalam jaringan (daring) dan PJJ luar jaringan (luring). PJJ daring merupakan pembelajaran yang menggabungkan teknologi eletronik dengan internet, sedangkan PJJ luring merupakan pembelajaran yang dilakukan melalui siaran radio, televisi, serta media belajar lain. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas tentang PJJ daring, yaitu pembelajaran yang menggunakan internet.

Secara teknis, PJJ daring dilaksanakan secara demikian: peserta didik (siswa, mahasiswa, atau peserta didik insitusi pendidikan sejenis) menggunakan beragam aplikasi yang terintegrasi internet, seperti aplikasi tatap maya yaitu Zoom, Google Meet, Microsoft Teams, dan lain sebagainya; Aplikasi pemberian dan pengumpulan tugas yaitu Google Classroom, Google Drive, Microsoft Teams, dan lain sebagainya; Aplikasi kuis atau tes yaitu Google Form, Quizizz, Kahoot, dan lain sebagainya. Penggunaan aplikasi ini dapat melalui smartphone, tablet, laptop ataupun komputer. Singkatnya PJJ daring membutuhkan: 1. perangkat (device) untuk mengakses, 2. Aplikasi yang digunakan, 3. Jaringan internet. Hal yang sama berlaku juga pada pendidik, beberapa tambahan lain disesuaikan dengan mata pelajaran atau materi yang diajarkan.

Mengingat PJJ daring amat kompleks juga membutuhkan sumber daya yang banyak (seperti kuota internet, listrik, dsb), beberapa institusi pendidikan melakukan mix dalam pelaksanaannya, Misalnya, jika pertemuan pertama adalah tatap maya, pertemuan selanjutnya hanya pengumpulan tugas, pertemuan ketiga tes, dan seterusnya. 

Hal ini jelas berbeda dengan pembelajaran tatap kelas yang biasa dilaksanakan berupa pembelajaran didominasi berbentuk ceramah dan tugas harian, baru kemudian tes di pertengahan dan di akhir dari semester. Mata pelajaran yang berorientasi di luar kelas seperti olahraga, dalam PJJ daring berubah menjadi pelajaran berorientasi buku dengan bentuk praktik pembuatan video olahraga.

Kompleksnya PJJ daring tidak serta merta menjadikan PJJ daring sebagai metode pembelajaran yang buruk, tetap terdapat poin positif dari PJJ daring ini. Dalam PJJ daring ini, peserta didik diberikan kebebasan penuh untuk mendapatkan informasi sendiri. Di luar kelas formal, dengan bantuan internet dan teknologi mutakhir saat ini, peserta didik dapat mengakses berbagai informasi yang mungkin belum terdapat dalam kurikulum pendidikan formal. Kesempatan akan kebebasan akses untuk mendapatkan informasi ini, senada dengan pernyataan Ivan Illich dalam bukunya Deschooling Society.

Ivan Illich adalah seorang sosiolog berkebangsaan Austria yang aktif mengkritisi pendidikan. Salah satu pernyataan kontroversialnya adalah "School is the advertising agency which makes you believe that you need the society as it is" (terj. sekolah adalah biro iklan yang membuat anda percaya bahwa anda membutuhkan masyarakat sebagaimana adanya). 

Pernyataannya ini memberikan arti bahwa sekolah hanya sekadar alat mengiklankan masyarakat bagi mereka yang mempunyai kuasa, sebuah alat bagi mereka yang berkuasa untuk tetap mengeruk semua sumber daya, untuk merebut kepuasan dari mereka yang sudah puas dengan apa yang dimiliki. Dengan arti lain, sekolah hanya sekadar institusi pemuas hasrat marjinal. Ketidakbebasan ini yang kemudian membuat mereka yang termarjinalkan serta hanya bergantung pada bantuan lembaga, membuat mereka tidak mampu memaksimalkan kehidupannya dengan usahanya sendiri. Pandangan Illich demikian yang melahirkan konsep bahwa sekolah harus bertujuan:

  • Semua orang berkesempatan untuk bebas dan mudah memperoleh sumber belajar setiap saat
  • Memudahkan semua orang memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain, begitu pula mendapatkannya
  • Masukan umum mengenai dunia pendidikan harus dijamin

Atas dasar tujuan demikian, Illich menyatakan bahwa pendidikan bukan hanya sekadar pembelajaran dalam kelas, pendidikan bukan mengekang murid dalam waktu, tempat, kegiatan serta tujuan belajar yang statis, bukan juga sekadar institusi pencetak sertifikat tanpa makna yang berarti. Pendidikan harus menjadi tempat di mana humanisasi dimajukan, kreativitas serta problem solving diutamakan, di tempat di mana nantinya semua peserta didik dapat memajukan dirinya sendiri, ada kemandirian, ada kebebasan di dalamnya. Illich menyatakan dalam masa ia bersekolah, sekolah melaksanakan praktik dehumanisasi yaitu pengikisan martabat kehidupan juga membuat peserta didik terasing dari dunia nyata (Dalam Maknun, 2017).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun