Ramadhan dan Setelahnya..
Setelah berpuasa sebulan penuh, kita sering menunggu momentum hari raya untuk merayakan sebuah kemenangan. Walaupun Idul Fitri dan Ramadhan terdapat dibulan yang berbeda, namun sering diartikan sebagai hari final atau finish setelah menjalani kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan tersebut. Tidak salah memang kalau kita memaknai seperti itu karena yang terjadi di Indonesia dan budaya mayoritas masyarakat seperti itu adanya. Namun yang terdengar keliru adalah ketika memaknai idul fitri sebagai hari kemenangan tapi tidak diiringi sikap seorang pemenang. Ditambah lagi jika kita terlarut larut dalam euphoria seorang pemenang yang sering mengakibatkan sikap lupa daratan (lupa sekitar). Â
Quraish Shihab memberi makna kata fitri sebagai kata serapan dari Bahasa arab yaitu fithri dan fithrah yang berarti asal kejadian, bawaan sejak lahir, naluri dan suci. Dalam Surat al-hijr ayat 28, Allah SWT berfirman ("dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Sungguh, Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk")sehingga memaknai arti fitri yang terdapat dalam Al-Quran menjadikan kita sebagai pribadi yang tidak sombong karena kita toh juga berasal dari tanah. Â
Secara garis besar nurcholis majid atau cak nur mengatakan bahwa hanya terdapat 2 hari perayaan dalam Islam yaitu idul fitri dan idul adha. sisanya bahwa isra miraj, nuzulul quran, maulid nabi dan hari besar lainnya merupakan hasil dari perjalanan sejarah dab budaya islam. Sebagai hari raya keagamaan tentu kita sudah seharusnya merenungi kembali hikmah dibalik itu, apakah hanya sebagai hari perayaan simbolik tanpa makna ataukah perayaan penuh nilai dan evaluasi diri.
Yang dimaksud perayaan simbolik disini ialah budaya dan kebiasaan yang biasanya terjadi, contohnya adalah tradisi masak ketupat,memakai baju baru, dan pembagia THR (Tunjangan Hari Raya) serta kebiasaan lainnya. Tentu ini tidaklah sepenuhnya salah, namun bisa mendekati kekeliaruan apabila tidak ada makna didalamnya.Â
Karena tradisi tradisi tersebut hanya bertahan dalam hitungan hari dan minggu saja, namun kontekstualisasi dalam diri tidak terbatas oleh waktu, justru waktu waktu sehabis Ramadhan dan idul fitri lah yang menjadi lahan aktualisasi real atas apa yang kita kerjakan sebelumnya yaitu berpuasa sebulan penuh.
Mengutip kembali dari apa yang dikatakan cak nur, 'Tahun boleh berganti, zaman boleh berubah, millennium boleh bertukar dari millennium satu ke millennium dua dan seterusnya, tapi manusia tetap sama selama-lamanya sesuai dengan desain Allah SWT'. dari kalimat tersebut terdapat 1 hal yang menarik, yaitu manusia yang tidak akan berubah dalam konteks sebagai ciptaan Allah SWT. dimana dalam diri manusia terdapat fitrah atau naluri dalam berbuat baik atau hanif sesuai dengan surat ar-ruum ayat 30.
Lantas apakah kita tetap memiliki semangat yang sama saat seperti menjalani puasa dibulan Ramadhan dan menyambut idul fitri? Yang sangat disayangkan adalah nilai nilai tersebut seringkali padam, puasa yang menjadi lahan pembelajaran untuk menahan hawa nafsu dan hal buruk acapkali menjadi tidak bermakna dihari hari biasa (setelah ramdhan).Â
Latihan dalam menahan diri yang kita lakukan secara sungguh sungguh haruslah bermanfaat serta teraplikasi dalam tindak tanduk kehidupan kita. Boleh dikatakan bahwa puasa dibulan Ramadhan sebagai bentuk latihan dan ujian sesunguhnya adalah di kehidupan sesudahnya. Ibadah yang bisa jadi meningkat kualitasnya dibulan Ramadhan, haruslah menjadi sesuatu yang konsisten dikerjakan setelahnya. Mengingat bahwa arti fitri adalah terlahir kembali dan sesuai fitrahnya, ini bisa kita jadikan sebagai motivasi bahwa kita selalu memiliki potensi untuk berbuat baik.
(coretan sedikit menjelang hari yang fitri, semoga bisa menjadi cambukan bagi penulis dan pengingat bagi pembaca)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H