MELIHAT kasus korupsi tiada henti yang melibatkan para ‘wakil’ –teranyar kasus dugaan suap Irman Gusman, saya jadi teringat obrolan dengan seseorang di gedung kura-kura, sekitar empat tahun lalu.
Ketika itu obrolannya tentang banyaknya para legislator Senayan yang ditangkap tangan oleh KPK karena korupsi. Lawan bicara saya itu, kemudian memberi gambaran secuil fenomena dari potret legislator yang sepertinya tidak semua publik tahu. Kata dia, sesama person saling tahu siapa ‘main’ apa.
Dia pun kemudian mengilustrasikan fenomena itu dengan sebuah pertandingan sepakbola. “Seperti bermain sepakbola, siapa main di mana dan bagaimana permainannya kita tahu. Kalau kemudian ada yang tertangkap KPK. Itu karena (permainan orang itu) off side aja.” Demikian ucapan orang itu yang membuat saya seolah memperoleh jawab atau pembenaran atas prejudice yang selalu menari-nari di kepala saya selama ini, bahwa banyak ‘main’ yang dilakoni oleh para ‘wakil’ itu.
Keyakinan saya itu kemudian makin membatu tatkala KPK menangkap tangan Ketua DPD Irman Gusman. Ternyata, DPD sekalipun yang secara fungsi ‘mini’ terhadap akses pembuatan kebijakan, anggaran, maupun pengawasan gerak eksekutif, diduga bisa juga dijual pengaruh kecilnya itu oleh pemangkunya untuk meraih keuntungan pribadi. Meski tentu pembuktian kebenaran atas kasus Irman ini, masih nanti pengadilan yang memutuskan.
Kenapa corruption circle sekarang dominan terjadi di lembaga perwakilan rakyat, atau minimal melibatkan para legislator baik pusat maupun daerah di Indonesia? Ini tak lepas dari kewenangan luas dalam genggaman mereka. Legislator menggenggam kuasa atas pengawasan eksekutif, kuasa atas pembuatan kebijakan publik, serta punya kewenangan kuat juga terhadap penentuan anggaran. Bahkan, legislatif pun dapat menjadi organ penentu atas terpilih tidaknya kepala/pemimpin lembaga negara di bawah presiden.
Celakanya, dalam konteks Indonesia, kewenangan tinggi itu dianggap senyawa dengan kesempatan besar mengeruk keuntungan dalam bentuk apapun baik untuk pribadi maupun kelompok. Karena itu, lembaga legislatif kemudian menjelma sebagai wadah besar tempat riuh bergemuruh manusia-manusia di dalamnya meneguk kesempatan demi kepentingan masing-masing.
Menjelaskan potret korupsi di Indonesia, sepertinya kita tak perlu berbuih-buih dengan sederet teori A, B, C, D atau teori bla…bla...bla lainnya. Bagi saya, bicara korupsi di negeri ini, cukup menyebut satu kata berimbuhan berbunyi “kesempatan”. Jadi klunya, korupsi tidaknya seseorang, di negeri ini sebatas ditentukan oleh ada tidaknya kesempatan dimiliki orang itu. Jika ada kesempatan, siapa pun orang itu, pria wanita, tua muda, kaya miskin, alim atau begajulan, serta sederet latar belakang lainnya, cenderung kemudian mengaktualisasikan watak koruptifnya.
Mereka yang tidak memiliki kesempatan, ada yang nrimo, permisif, tapi ada juga yang agresif kemudian berkoar-koar lantang antikorupsi, tapi ujung hilirnya mereka minta secuil akses atau ‘cucuran’ hasil koruptif dari kelompok memiliki kesempatan untuk itu..
Jika kita runut, ternyata watak koruptif di tanah air ini, telah ada sejak lama mengiringi perjalanan Nusantara. Dalam bukunya History of Java, yang terbit tahun 1816, Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang pernah memerintah Pulau Jawa), menuliskan beberapa watak atau karakter orang Jawa, yang salah satunya adalah “suka mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui”.
Hal rnenarik lainnya adalah bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elite kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan saran yang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter.
Daiam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak penguasa. Budaya yang sangat tertutup dan penuh keculasan itu turut menyuburkan budaya korupsi di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan korup dalam mengambil upeti (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (lurah).