Selanjutnya oleh Demang diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau provinsi. Praktek korup di sini juga terjadi (walaupun sedikit) terhadap harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan. Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur
Kemudian, setelah negara ini terbentuk bernama Indonesia, korupsi juga selalu terjadi. Padahal, di setiap orde juga, mulai orde lama hingga orde reformasi dibentuk lembaga antirasuah. Tapi dalam sejarahnya, lembaga antirasuah ini selalu bernasib sama bak macan ompong. Alih-alih mampu menggigit atau menerkam koruptor, di zaman orde lama maupun orde baru, lembaga ini malah yang kemudian tersungkur dibubarkan penguasa.
Di era reformasi, nasibnya kurang lebih sederajat saja dengan pendahulunya. KPK sempat terseok-seok. Beberapa kali dikeroyok, digoyang habis-habisan, bahkan sudah muncul choice dibubarkan. Anehnya, yang meminta KPK bubar termasuk dari rezim yang dulu membidani kelahirannya.
Beberapa pihak, termasuk legislatif terkesan telah melakukan kesalahan sejarah menghadirkan dan melahirkan KPK. Ibarat membesarkan singa, setelah kuat, sang singa justru menerkam yang membesarkannya itu. Itulah kira-kira rasionalitas berpikir mereka sehingga menginginkan KPK bubar.
Melihat jejaknya yang telah ‘eksis’ sejak zaman nenek moyang, saya jadi berpikir jangan-jangan koruptif ini bersifat genetik mengikuti hukum hereditas. Artinya, korupsi dan watak koruptif, bersifat diturunkan sehingga selalu ada di setiap zaman, sulit hilang (tidak seperti di negara lain), dan hanya variasi aksinya saja yang berbeda di tiap zaman.
Di saat pikiran itu muncul, saya jadi teringat tulisan Bung Radhar Panca Dahana sekitar 11 tahun lalu. Sepertinya berawal dari kegeraman dia akan praktek koruptif yang terus menerus berlangsung bahkan makin menjadi-jadi, Bung Radhar kemudian menghadirkan pemikiran di luar kelaziman orang berpikir.
Menurutnya, korupsi atau watak koruptif bisa jadi merupakan keunggulan karakter bahkan keunggulan kompetitif manusia Indonesia dibanding bangsa lain. Hal itu karena dia melihat, korupsi telah menjadi modus survival bahkan modus pengembangan diri orang Indonesia, dengan bentuk, kreasi dan inovasi yang menakjubkan.
“Manusia Indonesia adalah kecerdasan membengkokkan aturan, menipu diri sendiri, manipulasi jabatan, berteater (berpura-pura tak berdosa), atau mengeruk keuntungan dari hak orang lain tanpa rasa bersalah.”
Ini kutipan dari pemikiran Bung Rhadar, yang saya kira siapapun sulit mencari argumen untuk membantahnya…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H