Oleh Rizka Adiatmadja
(Penulis Buku & Praktisi Homeschooling)
Roda perekonomian semakin tersendat, sejahtera seperti kisah fiksi yang teramat sulit dijangkau oleh masyarakat. Pajak yang terus-menerus dipungut seakan-akan amnesia terhadap derita rakyat. Korporasi selalu menjadi anak emas, benar adanya jika dalam tatanan kapitalisme, orang kaya semakin menjulang, kemiskinan kian meradang. Batas sosial yang jelas terlihat  seperti curamnya jurang.
Dikutip dari dutatv.com -- Peringatan untuk penunggak pajak kendaraan yang akan diburu Tim Pembina Samsat hingga ke rumah. Menurut mereka, kondisi tersebut bukan tanpa sebab. Korlantas Polri mencatat dari total 165 juta kendaraan terdaftar, yang memperpanjang STNK 5 tahunan tak menyentuh angka setengahnya atau sekitar 69 juta unit. Sementara setengah bagiannya lagi tidak ada pembayaran alias menunggak. (8 November 2024)
Bukan halnya hal tersebut, jelang awal tahun 2025 tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pun akan mengalami kenaikan. Dari 11% menjadi 12%. Ini sesuai dengan rencana pemerintah berdasarkan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Dalam Pasal 7 Ayat 1 disebutkan bahwa tarif PPN 11% mulai berlaku pada 1 April 2022 dan PPN 12% akan berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025. Tentu kondisi ini menimbulkan beragam opini bahwa kenaikan pajak harus dikaji ulang karena dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap sektor riil.
Pajak Membebani Rakyat
Penderitaan rakyat saat ini tidak kurang. Segala kesulitan harus dihadapi sendiri tanpa meradang. Hantaman beban melahirkan banyak ketimpangan sosial ditambah pajak yang bertubi-tubi semakin menambah deret penderitaan.
Kebijakan pengejaran dan bahkan kenaikan pajak bertujuan memberikan proteksi untuk modal kapital karena di situlah keuntungan tinggi. Insentif pajak tentu dipersembahkan kepada korporasi yang bisa memiliki daya magnet  untuk investasi.
Beban pajak yang cenderung dialihkan kepada masyarakat menengah ke bawah semakin kentara. Melalui pajak tidak langsung, semisal PPN. Sebab, masyarakat tidak mempunyai daya tawar politik yang kuat.
Sebaliknya, para kapitalis dan korporasi besar akan mendapatkan keringanan dan bisa jadi lolos dari pajak. Ketidakadilan yang lahir karena penerapan sistem perekonomian kapitalisme. Rakyat senantiasa menjadi tumbal yang renyah untuk dikorbankan.