Kasih, kau tau kita pernah bersama di kota itu. Kita pernah punya punya sofa yang hangat untuk bersantai sepanjang hari. Juga lampu hias didepan taman kota yang tiap kali kita lewati, selalu punya atmosfir yang hangat dan memilukan. Juga jalan dan lampu-lampu kota yang setia mereduksi gelap dan bayang-bayang kita jadi bagian penting dari tegaknya malam.
Katamu kita berbeda dengan mereka. Kita punya cinta yang lebih khusus, tidak umum dan tidak biasa. Dan akupun menyetujui. Dan kita sibuk merencanakan banyak hal untuk melewati hari-hari. Aku mengingatnya dengan baik ketika kau masih tersenyum segar. Tiap ditail dari paras dan resam tubuhmu dan tiap nafas yang teratur ketika kau tertidur dipundaku.
Tapi itu dahulu bukan. Dan kini, aku tak punya keberanian yang penuh untuk datang dan menginjakan kakiku disana. Karena jika aku datang dan pintumu tak pernah dapat ku jumpai disana untuk diketuk, lebih baik mati saja. Karena aku tak tahu bagaimana rasanya menanggung kerinduan yang membengkak ketika kau tak lebih jauh dariku lagi. Jadi lebih baik aku memilih untuk tak datang ke kotamu. Aku memilih untuk jauh memandangimu lewat sela-sela jendela yang terisi angin dan gordain yang berayun-ayun serta harapan yang menggantung diantara padatnya warna hitam malam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H