Tuan, sudah lama aku tak bercerita. Sekarang, dalam kondisi nyeri perut di ulu hati. Terbaring di tempat tidur. Aku sempatkan menulis rangkaian kata yang akan menjadi kalimat-kalimat. Kuharap lewat jalan mana pun. Kamu bisa membacanya.
Tuan, di pertengahan Oktober kemarin aku ikut Kemah Sastra diselenggarakan oleh komunitas kelas dikotaku. Hari itu, tepat hari sabtu aku mengenakan gamis hitam dengan kerudung persegi abu-abu. Menemui Iki, adikku di organisasi. Setelah jam 3 kami berangkat dan menuju lokasi Kemah. Sesampainya di sana tuan, ternyata baru kami berdua peserta yang datang. Dibantu oleh abang panitia. Kami merakit tenda lalu kemudian peserta lain berdatangan.Â
Tuan, ketika Kemah di sabtu malam. Â Malam minggu kata orang-orang. Adalah malam yang paling aku impikan. Dimana aku menyaksikan penyair-penyair keren membaca puisi-puisi keren. Tak ada bintang, yang ada adalah teragnya kerdip cahaya lampu-lampu hias yang ditempelkan disudut-sudut pohon. Indah dan menawan tuan.Â
Malam itu, aku dan ketiga temanku penuh canda gurau  kami bertemu teman baru. Bahkan aku tak pernah membayangkan orang yang aku kenal di instagram akan kulihat nyata di tempat itu. Sungguh indah malam-malam di Kemah Sastra itu tuan. Aku tampil dengan penuh percaya diri, dalam setiap panggilan ilahi aku semakin yakin akan kebesaran-Nya. Â
Puisi-puisi dengan diksi yang indah ditelinga. Terbang ke awan dan menggema. Kami disana bahagia, karena ada juga yang menyuguhkan gelak tawa. Bahagia kami sejadi-jadinya. Sampai besok tiba. *
Pukul 06.00 di lokasi Kemah Sastra, aku dan teman-teman baru saja selesai sholat subuh tuan. Tiba-tiba seorang panitia bernama Mas memanggilku dengan suara keras.Â
"Zahra.. " Katanya.Â
Aku tidak enak badan saat itu tuan. Karena kamu tahu, aku mandi sungai ketika jam 5 pagi tadi. Mungkin cuaca tidak bersahabat. Tapi aku tetap menghampiri panitia itu. Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres.Â
"Kamu Zahra? " Kata Panitia bernama Mass itu.Â
Aku menganggukkan kepala.Â
"Benar dia ketua komunitas kalian? " Katanya mengarah kepada seorang laki-laki  bernama Aziz. Dia memang ketua komunitas kami tuan, aku dan teman-teman ku datang ke Kemah ini ikut rombongan komunitas ini.Â
"Iya bang" Kataku.Â
"Silahkan bereskan barang-barang kalian! Saya tidak sudi kalian berada di tempat ini! " Katanya padaku tuan.Â
Plukkk... Hatiku hancur tuan. Maksudnya, Kenapa? Ada apa dengan kami berempat kenapa kami harus di usir?Â
"Maaf Bang, kesalahan kami apa yah? " Kataku.Â
"Salah kalian karena datang kesini bersama dia. Dia telah menghina sastrawan. Dia tidak pantas ada disini! Tadi saya sudah usir dia sendiri. Tapi dia bawa bawa kalian" Kata panitia itu. Maksudnya Dia, adalah si Aziz.Â
Aku menarik napas. Mencoba berpikir positif mungkin ini hanya dinamika saja. Seperti yang kurasakan biasa, atau semacam prank. Jadi aku berusaha bicara dengan baik dengan panitia itu. Aku tak mau mengajak si Azizi itu bicara. Sedari awal aku tahu kalau dia salah. Tapi aku mau tahu apa yang menyebabkan kami semua yang harus Kemah getahnya.Â
"Mungkin dia tidak mau menghina, dia cuma kritis? " Kataku.Â
"Dia sudah menghina sastwan itu sengaja bukan kritis! " Kata Mas dengan nada tinggi.Â
Aku bisa merasakan kalau Mas itu tidak bohong. Dan si Aziz dia terus membisikkan ke telingaku dan ketiga temanku kalau dia tidak salah. Aku tak peduli dengan suaranya.Â
"Iya bang, kami akan beres-beres" Kataku tak mampu meredam air mata. Bagaimana mungkin aku bisa menahan air mata. Sedangkan aku amat terlampau jatuh cinta pada Kemah Sastra. Bagaimana malam di Kemah itu telah membawaku hanyut ke samudra syair yang indah. Tiba-tiba di pagi harinya. Aku di usir secara tidak hormat. Itu pun karena ulah seorang laki-laki yang aku mengira dia dewasa. Tapi malam itu, aku menyaksikan sendiri. Bagaimana sifat aslinya.Â
Melihat air mataku yang jatuh. Si Aziz mencari kesempatan, dari tadi aku lihat dia sudah emosi denga para panitia. Tapi air mataku dijadikannya alasan. Sangat memalukan tuan! Ia bilang kalau aku menangis karena dibentak oleh panitia itu. Padahal aku menangis karena dia sendiri.Â
Dia mendorong Mas sehingga anggotanya yang rata-rata anak gunung Muria dan akhirnya Aziz ia di gebukin. Aku tak tahan melihatnya, bukan karena aku membelanya. Tapi, aku manusia tuan. Mana mungkin aku biarkan orang lain mati di hadapanku. Sekalipun ia penjahat. Apalagi Aziz itu datang bersamaku. Aku tak bisa menahan teriakanku. Aku menjerit agar orang-orang memisahkan yang meng keroyok si Aziz itu.Â
Akhirnya, mereka dipisahkan tuan. Dengan air mata yang tumpah di pipi jantungku berdegup kencang. Penasaran, bagaimana keadaan Aziz. Biar bagaimana pun. Dia adalah temanku. Lalu beberapa panitia datang ke kami berempat dan panitia itu menjelaskan apa kesalahan si Aziz. Ternyata tuan. Begitu menjijikan! Aku malu dan semalu-malunya. Apalagi aku tahu, aku dijadikannya alasan untuk kemarahannya sehingga dia menyerang Mas dan jadi dia yang dikeroyok teman-temannya Mas.Â
Tuan aku ingin cerita. Kejadian itu sungguh seperti sinetron di Indosiar. Jika mengingatnya aku ingin sekali memukul si Aziz itu. Kalau saja waktu kembali. Maka aku lebih suka kalau dia mati saja. Karena apa tuan? Dengan setiap drama yang dibuatnya di Kemah Sastra. Dia tidak merasa bersalah.Â
Malam setelah semua sampai di rumah masing-masing. Tepat pukul 11 malam, ibuku sudah tidur. Aku di telpon Mas, ternyata si Aziz biadab itu melapor ke polisi. Sungguh aku muak dengan dramanya pagi itu. Malamnya ia masih membuat drama. Tanpa berpikir panjang, aku keluar pelan-pelan dari rumah. Menyusuri gelap gulita nya malam. Sesekali berlari dan berjalan menuju kantor polisi. Aku menemui dia tuan, dia bilang tulang rusuknya patah. Aku bilang, kalau patah kenapa kamu tidak ke rumah sakit. Dia terdiam. Masih banyak ocehannya yang buat aku muak. Tapi tuan, sebagaimana aku tegas kepada dosen tua narsistik di kampus. Aku juga tegas kepadanya malam itu. Dengan tatapan tajam. Aku berkata kalau aku tak akan membela dia sedikit pun. Aku tahu yang sebenarnya. Aku akan berkata jujur tanpa neka-neko. Setelah itu tuan dia pun berusaha mencabut laporannya. Yang bahkan bum di tulis polisi laporan itu. Ia pulang, dan ingin mengantarkan ku pulang.Â
Mana mungkin aku mau, setelah ia melakukan banyak drama dan menyeret-nyeret namaku tuan? Pun dia terus memanipulasiku dengan sikap baik. Padahal di belakangku dia berlaku bejat, sarkas, bahkan aku tahu kalau dia tak segan berkata pantang pada orang lain. Untungnya, aku sudah tahu tuan.Â
Aku keluar dari komunitasnya, aku juga blokir nomornya, aku unfollow instagramnya. Tak ada tempat orang manipulatif di hidupku tuan.Â
Tuan, mengapa ini harus terjadi padaku. Aku harus berjumpa dan kenal dengan orang-orang manipulatif seperti mereka. Sementara aku tak bisa sedikit pun bersama denganmu tuan. Mungkin sekarang kau sudah wisuda, mungkin kau dengan si Amel sedang berfoto ria gembira. Atau jangan-jangan kalian berdua sudah menikah tuan?Â
Sementara aku tuan, terus Allah kasih kejutan hidup. Aku belum lulus dan akhirnya aku menjadi mahasiswa abadi. Kuharap kau dan Amelmu tak menertawakanku tuan. Karena kamu tahu betul kalau aku bukan mahasiswa pemalas! Aku hanya tersesat dengan banyak drama yang orang-orang buat. Hingga menjeratku  kemana-mana.Â
Tuan, mungkin kau tengah duduk di cafe sekarang bersantai ria gembira dengan Amel mungkin. Sementara aku tuan, aku tengah terbaring di rumah sakit. Beberapa minggu setelah Kemah Sastra aku sakit perut parah. Aku dilarikan ke rumah sakit. Mungkin waktuku sudah tidak lama tuan.
Tuan, kalau pun nanti aku masih hidup 60 tahun lagi. Do'akan aku menemukan orang yang Allah siapkan untukku.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H