Apabila kita mengamati kata-kata yang tertera di tempat-tempat umum, seperti di jalan raya, rumah sakit, puskesmas, pasar, dan lain sebagainya, banyak kata yang bisa kita temukan dengan penulisan yang berbeda di berbagai tempat. Hal ini tidak hanya terjadi di tempat-tempat tersebut, tetapi juga di media cetak ataupun elektronik, kita bisa melihat perbedaan penulisan kata-kata tertentu. Bahkan terdapat pula di beberapa lirik lagu dan sulih bahasa (dubbing) serta iklan-iklan, baik iklan di media cetak maupun elektronik.
Kita sering menemukan penggunaan kata apotek dan apotik di jalan raya, di sekitar pasar atau pun rumah sakit. Selain itu, sering juga kita menemukan kata praktek dan praktik di tempat-tempat umum (tempat praktik dokter tertentu misalnya), penulisan Dr. (yang sebenarnya seorang dokter, bukan doktor) di rumah sakit, puskesmas, dan tempat praktik dokter.
Penulisan pasca sarjana dan pascasarjana di baliho atau papan pengumuman sebuah institusi (beberapa ada yang termasuk institusi pendidikan), bahkan penulisan pemboman dan pengeboman, atlet dan atlit,resiko dan risiko, telepon dan telefon, mempercayai dan memercayai, memopulerkan dan mempopulerkan, menyukseskan dan mensukseskan, dan sebagainya masih sering kita temukan di beberapa tulisan media cetak dan media elektronik (termasuk berita stasiun televisi). Ada juga kata merubah yang banyak kita temukan dalam lirik-lirik lagu, seperti 61 lirik lagu yang penulis temukan, di antaranya lagu Kucinta Kau Apa Adanya (Aku Mau), yang dinyanyikan oleh Once, Bebas untuk Menang yang dinyanyikan oleh grup band Nidji, Merindukanmu yang dibawakan oleh grup band d’Masiv, dan sebagainya. Kata kreatifitas dan aktifitas masih juga kita temukan di iklan-iklan media elektronik atau media cetak.
Apabila kita telusuri, menurut wikipedia bahasa Indonesia, kata apotek berasal dari bahasa Yunani, yaitu apotheca yang berarti ‘penyimpanan’ dan berasal dari bahasa Belanda apotheek yang berarti ‘tempat menjual dan membuat atau meramu obat’. Kata tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi apotek yang berarti ‘tempat penyimpanan obat’. Kata aktivitas dan kreativitas berasal dari bahasa Inggris yaitu dari kata activity menjadi aktivitas dan kreativity menjadi kreativitas. Kata atletik berasal dari bahasa Inggris yaitu dari kata athletic menjadi atletik dan orangnya disebut atlet dan bukan atlit. Kata-kata tersebut diserap melalui cara adaptasi (yaitu terjadi apabila pemakai bahasa hanya mengambil makna asing itu, sedangkan ejaan dan cara penulisannya disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia) sehingga kata yang benar adalah apotek bukan apotik, aktivitas bukan aktifitas, kreativitas dan bukan kreatifitas, atlet bukan atlit (karena atletik bukan atlitik).
Apotek sebagai sebuah lembaga/instansi resmi seharusnya memperhatikan penulisan kata yang benar karena lembaga tersebut secara tidak langsung menjadi ujung tombak dalam menyosialisasikan kata baku apotek. Apabila lembaga ini tidak menggunakan penulisan yang benar dalam penulisan nama lembaganya, masyarakat akan menganggap bahwa kata yang benar adalah apotik, bukan apotek bahkan mungkin cukup membingungkan bagi beberapa orang. Semakin banyak masyarakat yang melihat nama lembaga tersebut, semakin banyak anggapan yang salah tentang penulisan kata tersebut.
Kata praktik berasal dari bahasa Inggris practice yang berarti ‘latihan’ dan bahasa Belanda praktisch yang berarti ‘percobaan’. Kata tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi praktik, akhiran -ic dalam bahasa Inggris atau -isch dalam bahasa Belanda, disesuaikan menjadi -ik dalam bahasa Indonesia.
Banyaknya penggunaan kata praktek di beberapa rumah sakit dan tempat praktik dokter seharusnya menjadi perhatian berbagai pihak karena rumah sakit dan tempat praktik merupakan lembaga resmi yang secara tidak langsung ikut menyosialisasikan dan membenarkan penulisan kata yang salah. Mungkin sebagian besar orang menganggap hal tersebut sepele, tetapi hal tersebut kurang bahkan tidak menunjukkan kepedulian terhadap pemertahanan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selain itu, hal tersebut akan memupuk anggapan yang salah terhadap penggunaan bahasa.
Penulisan kata pascasarjana yang benar adalah digabung karena pasca merupakan imbuhan. Dalam aturan tata bahasa Indonesia, imbuhan harus digabung dengan kata dasar karena imbuhan tidak bisa berdiri sendiri (tidak memiliki makna). Dalam kasus ini, imbuhan pasca berbeda dengan imbuhan seperti mem-, ber-, dan sebagainya. Imbuhan dalam bahasa Indonesia memang tidak bisa berdiri sendiri karena tidak memiliki makna. Akan tetapi, bagaimana halnya dengan imbuhan serapan seperti pasca yang bisa berdiri sendiri karena memiliki makna ‘sesudah’? Penulisan pascasarjana tetap digabung karena imbuahan pasca bagaimanapun merupakan imbuhan serapan. Jadi, penulisannya mengikuti kaidah penulisan kata berimbuhan dalam bahasa Indonesia. Banyaknya penulisan kata tersebut terutama di baliho atau pengumuman oleh institusi pendidikan merupakan hal yang sangat ironis mengingat lembaga pendidikan sebagai lembaga yang seharusnya menjadi contoh.
Penulisan kata pengeboman atau mengebom dan pemboman atau membom sering penulis temukan dalam berita stasiun televisi yang menayangkan berita tentang pengeboman, terutama ketika sedang maraknya kejadian tersebut. Penulisan kata yang benar adalah pengeboman atau mengebom karena kata dasarnya memiliki satu suku kata bom yang dirangkai dengan imbuhan penge-an. Sama halnya dengan kata cat, lap, tik, bor, yang memiliki satu suku kata sehingga penulisannya pengecatan atau mengecat, pengelapan atau mengelap, pengetikan atau mengetik, dan pengeboran atau mengebor.
Penulisan atau pelafalan kata resiko dan risiko sering kita temukan, baik dalam bentuk penulisan seperti surat kabar, internet, karya fiksi, dan sebagainya, maupun pelafalan seperti dalam obrolan ringan bahkan obrolan yang sifatnya resmi masih terjadi. Penulisan yang benar adalah risiko karena berasal dari bahasa Inggris yaitu kata risk yang bermakna ‘kemungkinan rugi’. Menurut pengamatan penulis, sebagian besar dari kita lebih banyak melafalkan resiko dibandingkan dengan risiko.
Penulisan kata telepon dan telefon masih kita temukan dalam surat kabar, majalah, internet, dan sebagainya. Penulisan yang benar seharusnya telefon karena berasal dari bahasa Inggris telephone seperti halnya kata mikrofon yang berasal dari kata microphone dan tidak menjadi mikropon, tetapi mikrofon, ph- berubah menjadi f dan bukan p seperti halnya paragraf dan frasa yang berasal dari kata paragraph dan phrase.
Kata merubah yang banyak sekali kita temukan pada lirik-lirik lagu bahasa Indonesia dan sulih bahasa (dubbing) film dan sinetron asing seolah-olah telah menjadi kebenaran sebuah bahasa padahal apabila kita analisis imbuhan dan kata dasarnya tentu saja kata tersebut menjadi rancu (me- dan rubah). Kata rubah dan kata ubah dalam bahasa Indonesia tentu saja berbeda maknanya. Dalam KBBI (2007 : 965) rubah adalah binatang jenis anjing, bermoncong panjang, sedangkan ubah adalah menjadi lain (berbeda) dari semula. Dengan demikian, sangatlah jelas bahwa kata mengubah termasuk kata baku karena berasal dari imbuhan meng- dan kata dasar ubah dan tentu saja bukan berasal dari imbuhan mer- dan kata ubah karena dalam bahasa Indonesia tidak ada imbuhan mer-.
Selain itu, kata aktifitas (yang seharusnya aktivitas) dan kreatifitas (yang seharusnya kreativitas) masih sering kita lihat penerapannya dalam iklan-iklan televisi bahkan dalam beberapa penulisan surat resmi/surat dinas dan surat kabar. Hal ini tentu saja telah menggeser fungsi kebahasaan sebagai kerangka acuan.
Kata mempercayai, mensukseskan, mengkonsumsi, mempopulerkan, menterjemahkan sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Kita terbiasa mendengar kata-kata tersebut mulai dari obrolan ringan bahkan terkadang hingga forum resmi (di kelas, sekolah, seminar, ceramah) dan membaca (melihat) kata-kata tersebut pada tulisan-tulisan buku (fiksi ataupun nonfiksi) atau pun tulisan-tulisan di surat kabar atau pun di internet.
Kata-kata tersebut secara langsung maupun tidak langsung sudah tersosialisasi dan terakulturasi pada masyarakat kita sehingga muncul anggapan bahwa kata-kata tersebut merupakan kata baku. Arifin dan Tansai (2008 : 41) mengemukakan bahwa kata dasar yang bunyi awalnya /k/, /t/, /s/, atau /p/ yang diikuti huruf vokal(a, i, u, e, o) luluh/lebur menjadi bunyi sengau jika mendapat awalan me- atau peng-. Jadi, kata baku yang baik dan benar adalah memercayai, menyukseskan, mengonsumsi, memopulerkan, dan menerjemahkan meskipun kata-kata tersebut bagi sebagian besar orang ada kemungkinan merasa asing, aneh, dan bahkan tidak enak didengar. Akan tetapi, permasalahan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar bukan pada permasalahan enak atau tidak enak dalam melafalkan atau mendengar kata-kata tersebut.
Permasalahan lain yang tidak kalah penting yang sering kita temukan dalam realitas penggunaan bahasa Indonesia pada masyarakat kita adalah kecenderungan penggunaan bahasa Indonesia yang dicampuradukkan dengan bahasa Inggris atau bahasa gaul dalam berkomunikasi atau berinteraksi, baik secara lisan maupun tulisan (terutama dalam media jejaring sosial). Bahkan, dalam beberapa forum resmi terkadang kita masih menemukannya, termasuk dalam pembelajaran yang seharusnya menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia atau pun dalam beberapa forum diskusi atau seminar.
Kita juga bisa melihat beberapa istilah asing yang sering digunakan oleh beberapa perusahaan dalam menciptakan beberapa produknya, seperti merek produk tertentu. Ada juga bebeberapa pengusaha yang memberikan label usahanya dengan istilah-istilah asing, seperti nama-nama hotel tertentu, nama-nama restoran, supermarket, dan lain sebagainya.
Selain itu, kita juga sering menemukan penulisan kata yang tidak tepat di beberapa spanduk, reklame, penujuk arah atau pun papan pengumuman, dan sebagainya. Salah satu contoh seperti penulisan kalimat “Di larang Merokok” yang seharusnya “Dilarang merokok”, “Belok kekiri” yang seharusnya, “Belok ke kiri”, “Rumah ini di jual”, yang seharusnya, “Rumah ini dijual”, dan sebagainya. Penulisan kata berimbuhan dan kata depan tentu saja berbeda. Penulisan kata “dilarang” tentu saja harus digabung karena menyatakan imbuhan di- dan kata dasar larang, begitu juga dengan penulisan kata “dijual” yang berasal dari imbuhan di- dan kata dasar jual. Seperti pembahasan sebelumnya, dalam aturan tata bahasa Indonesia, imbuhan harus digabung dengan kata dasar karena imbuhan tidak bisa berdiri sendiri (dalam hal ini imbuhan di- tidak memiliki makna kalau tidak digabung dengan kata dasar). Adapun, penulisan kata depan penulisannya harus dipisah karena menyatakan arah atau tempat. Dalam hal ini penulisan “ke kiri” seharusnya dipisah karena menyatakan arah.
Beberapa permasalahan yang dibahas di atas seharusnya menjadi perhatian kita bersama sebagai bagian dari bangsa ini yang selayaknya menjaga dan mempertahankan bahasa Indonesia sebagai identitas dan jati diri bangsa kita. Dengan menjaga dan mempertahankan bahasa Indonesia, kita sebenarnya menunjukkan siapa sebenarnya diri kita dan hal tersebut menujukkan bahwa kita memiliki karakter karena kita tidak merasa malu dan rendah diri dengan identitas dan jati diri kita yang sebenarnya.
Selain itu, pemerintah atau pun lembaga kebahasaan yang memiliki tanggung jawab dalam melakukan pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia seharusnya memperhatikan hal-hal tersebut. Meskipun upaya dalam melakukan pengembangan, pembinaan, dan perlindungan bahasa telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, tetapi dalam peraturan perundangan tersebut tidak dibahas secara rinci tentang permasalahan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam peraturan perundangan tersebut hanya dibahas penggunaan bahasa Indonesia saja tanpa ada penjelasan dan penegasan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Pasal-pasal kebahasaan dalam UU Nomor 24 tahun 2009 dituangkan dalam Bab III tentang Bahasa Negara, dari pasal 25 sampai dengan pasal 45.
Dalam UU Nomor 24 tahun 2009, pasal 25 ayat 3, dinyatakan bahwa bahasaIndonesiasebagaibahasaresminegara sebagaimana dimaksudpadaayat(1)berfungsisebagai bahasaresmikenegaraan, pengantarpendidikan, komunikasitingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional,transaksidandokumentasiniaga, sertasaranapengembangan danpemanfaatanilmu pengetahuan,teknologi,seni,danbahasamediamassa.
Lebih khusus lagi dalam pasal-pasal selanjutnya, penggunaan bahasa Indonesia wajib digunakan dalam (1) peraturan perundang-undangan; (2) dokumen resmi negara; (3) pidato resmi presiden, wakil presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri; (4) pengantar dalam pendidikan nasional; (5) pelayanan administrasi publik; (6) nota kesepahaman atau perjanjian; (7) forum resmi yang bersifat nasional atau forum resmi yang bersifat internasional di Indonesia; (8) komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta; (9) laporan setiap lembaga atau perseorangan kepada instansi pemerintahan; (10) penulisan karya ilmiah dan publikasi karya ilmiah di Indonesia; (11) nama geografi di Indonesia; (12) nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau pemukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, merek jasa, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia; (13) informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia; (14) rambu umum, penujuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum; dan (15) informasi melalui media massa.
Dengan peraturan perundangan tersebut, seharusnya kita – siapapun itu, apakah guru, pengusaha, pejabat, ilmuwan, pelajar, mahasiswa, dan sebagainya – lebih termotivasi untuk menjaga dan mempertahankan bahasa Indonesia dengan tanpa malu dan rendah diri menggunakan bahasa Indonesia. Namun, permasalahan yang dibahas sebelumnya menunjukkan dan membuktikan bahwa banyak dari pengguna bahasa Indonesia yang tidak memperhatikan aturan penggunaan bahasa Indonesia yang terdapat dalam UU Nomor 24 tahun 2009 dan aturan (kaidah) penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi penulis padahal UU Nomor 24 tahun 2009 ini telah diberlakukan sejak 9 Juli 2009, tetapi masih banyak yang tidak menerapkannya bahkan tidak mengetahuinya. Menurut penulis, ada beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Pertama, dalam UU Nomor 24 tidak diatur tentang pelarangan dan sanksi dalam penggunaan bahasa Indonesia padahal aturan tentang larangan dan sanksi yang berkenaan dengan bendera negara, lambang negara, dan lagu kebangsaan diatur dalam undang-undang tersebut. Kedua, sebagaimana diungkapkan sebelumnya bahwa dalam UU Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, terutama dalam Bab III tentang Bahasa Negara, tidak dibahas tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kedua hal tersebut semoga bisa menjadi pertimbangan para pengambil kebijakan agar fungsi pemerintah dan lembaga kebahasaan sebagai pengembang, pembina, dan pelindung bahasa Indonesia berfungsi secara maksimal. Selain itu, semoga kita sebagai pengguna bahasa Indonesia, siapapun itu, semoga bisa lebih mencintai dan menghargai identitas dan jati diri kita sendiri sebagai bagian dari bangsa ini.
Itulah beberapa realitas penggunaan bahasa Indonesia pada masyarakat kita dari banyaknya realitas penggunaan bahasa Indonesiayang mungkin tidak terbahas dalam tulisan ini. Mudah-mudahan tulisan ini bisa memberikan kontribusi positif bagi kita dan masa depan bahasa Indonesia yang lebih baik lagi.
Rahmi Rahmayati adalah guru bahasa Indonesia tinggal di Jalan Leuwipanjang Gg. Parasdi Dalam VI No.14 RT 14/RW 07 Bandung 40234
Email: rahmi.rahmayati@yahoo.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H