Isu internasional memang sangat menarik untuk dikaji, sebab kondisi internasional mempengaruhi kondisi geo-politik di berbagai negara, tidak hanya antar negara yang terlibat. Myanmar salah satu negara yang memiliki permasalahan terkait dengan HAM. Di mana salah satu etnis yang berada di bawah naungan negara Myanmar mengalami tindak kekerasan yang melanggar HAM sehingga menarik perhatian publik.
Salah satu problem hangatnya yakni etnis Rohingnya yang mengalami kekerasan dan diskriminasi dari pemerintah dan Masyarakat Myanmar. Karena, Masyarakat Myanmar masih memiliki dendam lama terkait Sejarah pembantaian warga Myanmar yang mana melibatkan etnis Rohingnya dalam pembantaian tersebut. Selain itu juga karena etnis Rohingnya tidak termasuk dalam UU 1982 terkait 135 etnis yang diterima kewarganegaraannya di Myanmar (Sadewa, Heryadi, & Hidayat, 2020) dan adanya ketakutan akan adanya pergerakan ekstrimis karena mayoritas etnis Rohingnya yang menganut agama Islam yang sangat berbeda dengan mayoritas Masyarakat Myanmar yang menganut agama Buddha (Yurika, 2016).
Atas gejolak tersebut tidak sedikit dampak negatif yang dirasakan etnis Rohingnya dari diskriminasi oleh Myanmar mulai dari kekerasan, perdagangan manusia, kesenjangan sosial, kehilangan kewarganegaraan dan pengungsian massal. Selain itu hal tersebut juga berdampak pada negara yang menerima pengungsi etnis Rohingnya yakni Beban ekonomi karena menanggung pengungsi Rohingya. Tulisan ini akan mengeksplorasi “Apa yang menyebabkan pelanggaran HAM yang ada di Myanmar” dan “Bagaimana Shuttle Diplomacy berperan dalam menangani isu HAM yang ada di Myanmar”. Sehingga menjadi salah satu isu yang harus dibahas lebih lanjut, tulisan ini akan memaparkan bagaimana pelanggaran ini bisa terjadi terhadap etnis rohingnya hingga mengakibatkan dampak yang sangat serius dan menjadi perbincangan internasional.
1. Apa yang menyebabkan pelanggaran HAM terhadap etnis rohingnya di Myanmar?
Hak asasi manusia(HAM) adalah hak yang sudah dimiliki oleh manusia sejak lahir dan keberadaannya diakui oleh negara maka dari itu manusia merupakan makhluk titipan dari Tuhan yang wajib dilindungi, dihormati dan dijunjung tinggi oleh negara hukum. Namun, dibalik penghormatan terhadap HAM pasti ada pelanggaran terhadapnya. Hal tersebut nyata dialami oleh etnis rohingnya yang berada di Myanmar. Sejak tahun 1978 etnis rohingnya merasakan kejahatan genosida serta hak-hak kebebasan yang mereka miliki juga ikut dirampas. Keluarnya Undang-Undang Citizenship Law menjadikan myanmar dapat bertindak semena-mena dengan penduduk yang tidak memiliki kewarganegaraan.
Etnis rohingnya menduduki 2 wilayah kota yang ada di Myanmar yaitu terletak sebelah utara Rakhine dan wilayah barat myanmar. Di tahun 2022 terdapat kurang lebih 600.000 jiwa etnis rohingnya yang tinggal di Myanmar. Etnis rohingnya jauh sekali dari kata dekat dengan HAM, mereka diusir, dibunuh, rumah-rumah mereka dibakar sehingga menimbulkan banyak sekali korban jiwa. Myanmar mengusir etnis rohingnya dengan cara yang tidak manusiawi yaitu dengan cara Extra Judicial Killing yaitu etnis rohingnya dilarang berpraktek agama, terlecehkan, properti yang mereka miliki disita, dipekerjakan paksa, lapangan kerja mereka dibatasi, penangkapan dilakukan secara sewenang-wenang serta adanya propaganda anti-rohingnya dan anti muslim.
Puncak penyebab dari pelanggaran HAM yang didapatkan oleh etnis rohingnya yaitu keluarnya UU 1982 dimana di dalamnya memuat tentang kelompok etnis yang diakui oleh myanmar sebanyak 135 dan rohingnya tidak termasuk di dalamnya.
2. Bagaimana Shuttle Diplomacy berperan dalam menangani isu HAM yang ada di Myanmar?
Indonesia telah memainkan peran penting dalam menangani isu HAM yang ada di Myanmar, khususnya isu pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya. Salah satu upaya yang dilakukan Indonesia adalah dengan melakukan shuttle diplomacy. Shuttle diplomacy adalah sebuah teknik diplomasi yang melibatkan perjalanan bolak-balik oleh seorang diplomat atau perwakilan negara untuk bertemu dengan pihak-pihak yang berselisih. Tujuannya adalah untuk memfasilitasi komunikasi serta untuk menemukan solusi atas permasalahan yang ada.
Dalam konteks penanganan isu HAM di Myanmar, shuttle diplomacy Indonesia dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Pada bulan Februari 2021, Retno melakukan kunjungan ke beberapa negara ASEAN, termasuk Brunei Darussalam, Singapura, dan Thailand. Tujuan kunjungan tersebut adalah untuk menggalang dukungan ASEAN untuk menyelesaikan krisis politik di Myanmar. Selain itu, Retno juga melakukan pertemuan dengan perwakilan dari pemerintah Myanmar, termasuk Menteri Luar Negeri Wunna Maung Lwin. Dalam pertemuan tersebut, Retno menyampaikan keprihatinan Indonesia atas situasi di Myanmar, serta mendesak pemerintah Myanmar untuk menghormati hak asasi manusia.
Upaya shuttle diplomacy Indonesia ini mendapat apresiasi dari berbagai pihak, termasuk dari PBB dan negara-negara anggota ASEAN. Namun, upaya ini juga mendapat kritik dari kelompok-kelompok pro-demokrasi di Myanmar, yang menilai bahwa Indonesia tidak cukup tegas dalam mendesak pemerintah Myanmar untuk mengembalikan demokrasi. Meskipun demikian, shuttle diplomacy Indonesia tetap memiliki peran penting dalam penanganan isu HAM di Myanmar. Upaya ini telah membantu untuk membangun komunikasi antara pemerintah Myanmar dan ASEAN, serta untuk mendorong pemerintah Myanmar untuk menghormati hak asasi manusia.