Mohon tunggu...
zakiyyah rahmi ayu
zakiyyah rahmi ayu Mohon Tunggu... Lainnya - learner

learner

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menelisik Film Petualangan Sherina 1; Anak Perempuan dan Kebebasannya

27 Oktober 2023   17:48 Diperbarui: 27 Oktober 2023   18:02 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Siapa yang tidak tahu film Petualangan Sherina? Film yang identik dengan lagu Jagoan itu terkenang pada hati anak-anak sejak tahun 2000. Tokoh Sherina yang penuh semangat dan cerdas itu mampu menarik perhatian publik. Pengembangan identitas suatu individu sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa kecilnya. Bentuk pengasuhan orangtua, kebiasaan yang dibangun, aktivitas sehari-hari, penanaman nilai, hingga lingkungan teman sebayanya menjadi faktor yang melekat pada masa kecil anak. Untuk menjadi dan menemukan identitasnya kelak, anak akan melewati beberapa fase. Piaget, seorang ahli biologi dan juga psikolog yang lekat dengan epistemologi generik, menjelaskan bahwasannya anak akan melewati 4 tahap perkembangan kognitif (Boeree,2006: 297-315), diantaranya :  

  1. Tahap Sensor-Motorik 

Anak mengalami fase pertama ini pada saat dilahirkan hingga usia 24 bulan. Sesuai dengan nama nya, anak akan mencoba memahami dunia dengan menggunakan kemampuan indranya. Pada usia 1 hingga 4 bulan,  anak akan mengandalkan reaksi sirkular primer, dimana pada tahap ini anak akan melakukan tindakan berdasarkan respon dari tindakan sebelumnya dalam bentuk yang sama. Misalnya seorang anak menghisap ibu jarinya, karena ia merasa nyaman dan enak maka ia melakukannya terus menerus. Pada usia 4 hingga 12 bulan, anak akan mengandalkan reaksi sirkuler sekunder, dimana pada tahap ini anak akan mencoba untuk terlibat dengan lingkungan sekitarnya. Sesuatu yang membuat hatinya senang, akan ia pelajari dan amati bagaimana cara kerjanya sehingga ia bisa mempertahankan hal yang membuat ia senang itu. 

Pada tahap ini pula ingatan anak sudah mulai hadir secara permen, ia akan mulai berpikir bahwasannya ketika sesuatu itu tidak ada, bukan berarti sesuatu itu hilang. Pada usia 12 hingga 24 bulan, anak akan mengandalkan reaksi sirkular tersier, dimana pada fase ini masih berkaitan dengan hal-hal yang membuat anak tertarik, namun sifatnya lebih variatif dan juga menetap. Anak akan mengingat pola-pola reaksi yang diberikan oleh sekitarnya. Pada tahap ini pula anak sudah melewati perkembangan representasi mental, dimana anak mempertahankan citraan dalam pikirannya dalam jangka waktu yang lebih panjang. 

  1. Tahap Pra-Operasional

Anak akan melewati fase ini pada usia 2 hingga 7 tahun. Pada fase ini anak telah memiliki representasi-representasi mental dan memiliki pertimbangan secara lebih baik, anak juga telah memahami simbol-simbol di sekitarnya.Ketika anak melihat suatu gambar, suatu tulisan atau mendengar  suatu kata, ia akan memikirkan representasi dari apa yang ia lihat atau dengarkan. Dengan kemampuan mempergunakan simbol ini, pemahaman anak akan kejadian yang sudah lalu atau yang akan datang menjadi lebih baik. Misalnya ketika anak ditanya terkait pengalaman tidak menyenangkannya, ia akan menunjukan mimik yang seketika sedih. Atau ketika ia menangis karena ditinggal oleh ibunya lalu ditenangkan dengan kalimat seperti "Ibu sebentar lagi pasti pulang", ia akan mulai menghentikan tangisannya. 

Pada fase ini anak menginterpretasikan dan mampu merepresentasikan kejadian di sekitarnya lewat simbol-simbol, diantaranya lewat kalimat juga ekspresi wajah. Namun yang perlu diingat adalah pada fase ini anak sangat bersifat egosentris. Sehingga interpretasi dan juga representasi yang ia tunjukan merupakan simpulan yang merujuk hanya pada dirinya saja. 

Melansir dari Medical News Today, ada lima perilaku utama yang ditunjukkan oleh anak-anak selama tahap ini (Fiska, 2021), antara lain:

a. Imitasi

Pada tahap ini, anak-anak akan meniru tindakan orang lain, mulai dari orang tua, saudara, dan orang-orang yang ada disekitarnya.

b. Permainan Simbolik

Disini, anak-anak akan mulai memberikan karakteristik ataupun simbol pada objek. Mereka bisa memproyeksikan properti dari satu objek ke objek yang lainnya. Contohnya, mereka berpura-pura dan menganggap tongkat adalah sebuah pedang.

c. Menggambar

Imitasi dan permainan simbolik ini adalah sebuah elemen penting dari menggambar. Hal tersebut akan dimulai dalam bentuk coretan dan berkembang menjadi representasi objek dan orang yang lebih akurat.

d. Pencitraan Mental

Anak-anak sudah mulai bisa memvisualisasikan berbagai macam hal dalam pikiran mereka. Umumnya, mereka akan lebih sering menanyakan nama dari banyak objek yang ditemui.

e. Menjelaskan Peristiwa Secara Verbal

Perilaku ini akan menunjukkan bahwa anak-anak sudah bisa menggunakan kata-kata untuk menggambarkan suatu peristiwa, orang, atau berbagai hal lainnya dari masa lalu.

  1. Tahap Operasi Konkret

Fase ini terjadi saat anak berusia 7 hingga 11 tahun. Pada tahap ini anak tidak hanya sudah mengenal simbol-simbol dalam kerangka berpikirnya, namun juga sudah mampu memanipulasi berdasarkan logikanya. Keberfusiangan logika anak pada fase ini sudah berjalan dengan baik. Anak sudah bisa memahami konsep konservasi, pengklasifikasiin benda, pengurutan, dan juga interpretasi atas kejadian di sekitarnya tidak hanya merujuk pada dirinya saja, ia mulai melibatkan variabel-variable eksternal dalam dirinya. Dimana egosentris anak pada fase ini mulai berkurang. 

  1. Tahap Operasi Formal

Ketika anak memasuki usia 12 tahun dan seterusnya anak sudah memasuki tahap operasional formal. Pada tahap ini anak sudah mulai bisa berpikir dengan lebih matang. Anak sudah memiliki kematangan prinsip-prinsip logika dan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan abstrak.

Pengenalan persepsi gender pada anak pada umumnya sudah dibentuk bahkan sebelum anak lahir. Bentuk-bentuk simbolik terkait gender pada anak biasanya dimulai dari warna dan juga mainan. Dimana ketika orang tua mengetahui anak dalam kandungannya berjenis kelamin perempuan, maka akan ia dibelikan perlengkapan berwarna pink serta mainan-mainan yang sering diartikan sebagai simbol feminim, seperti boneka, barbie dll. Sedangkan ketika orang tua mengetahui bahwa anak yang ia kandung berjenis kelamin laki-laki, maka akan ia belikan perlengkapan berwarna biru dan juga mainan-mainan yang diartikan sebagai simbol maskulin, seperti mobil-mobilan, robot dll. 

Pembentukan identitas gender pada anak akan mulai ia pahami ketika memasuki fase pra-operasional. Dimana pada fase ini anak sudah mulai bisa mengartikan simbol-simbol di sekitarnya dan juga melakukan proses imitasi. Persepsi identitas gender pada anak akan diperoleh bukan saja hanya dari warna dan mainan yang melekat selama ini pada dirinya, namun juga dari norma dan nilai yang ditanamkan orang tua, kebiasaan yang diajarkan, batasan-batasan yang diberikan juga pembagian fungsi sosial. 

Pada masyarakat yang patriarki anak perempuan cenderung ditekankan untuk bermain permainan yang sifatnya domestik , seperti menjadi "ibu-ibu-an", bermain masak-masak dll. Atau pada profesi-profesi lainnya permainan pada anak perempuan cenderung menekankan pada kemampuan afeksi dan verbalnya, seperti permainan dokter dan guru. Sedangkan anak laki-laki cenderung memiliki kebebasan yang lebih banyak, mulai dari sepakbola, layang-layang, bersepeda, lego dll. Penekanan permainan pada anak laki-laki cenderung menekankan pada motorik kasar serta pengasahan logikanya. 

Keluarga dengan pembagian tugas sosial yang patriarki biasanya juga cenderung akan mempengaruhi bagaimana persepsi identitas gender anak kelak. Karena melalui berbagai hal simbolik tadi, anak akan menginterpretasikan bahwasannya menjadi perempuan adalah dengan menjadi seseorang yang lemah lembut, mengayomi, penyayang, penyabar. Pun profesi yang identik dengan identitasnya adalah dengan menjadi ibu rumah tangga, guru dan juga dokter. Sedangkan menjadi laki-laki anak akan cenderung menginterpretasikan adalah dengan menjadi seseorang yang kuat, berani, bertanggung jawab dan lain lain, pun profesi-profesi yang identik dengannya. 

Pada masyarakat patriarki bias pada gender seseorang mengakibatkan adanya pembatasan aktivitas dan peranan sosial, yang mana ini akan berpengaruh pada kebebasan pilihan hidup suatu individu kedepannya. Bias gender pada masyarakat patriarki juga mempengaruhi bagaimana ketahanan sosial anak kedepannya. Pembentukan identitas gender yang bersifat patriarki hadir dari mekanisme pertahanan diri manusia purba. Dimana perempuan yang memiliki rahim dan alat reproduksi lainnya memiliki konsekuensi logis untuk mengandung dan menyusui. Untuk bertahan hidup manusia purba akhirnya membagi tugas dan peran sosialnya, perempuan menjaga anak dan rumah, manusia purba laki-laki mencari makan dan berburu. Kondisi tersebut terjadi karena pada zamannya masih banyak keterbatasan-keterbatasan alat dan juga sistem yang menjadikan manusia untuk dapat bertahan hidup harus mengandalkan kemampuan fisiknya. 

Pada masa ini, pembagian fungsi sosial dan juga pendefinisian identitas gender seseorang sudah tidak relevan lagi dikategorikan berdasarkan fungsi fisik dan biologisnya. Hal ini dikarenakan perkembangan peradaban menjadikan manusia bertahan hidup bukan mengandalkan pada kemampuan fisiknya, namun kemampuan kognitifnya Anak perempuan maupun anak laki-laki ketika diberikan akses dan didikan tanpa bias gender, secara umum memiliki kemungkinan untuk dapat bertumbuh dan perkembang sama baiknya. Baik anak perempuan maupun laki-laki harus memiliki akses dan juga nilai yang sama. Kemampuan afeksi, kemampuan berbahasa, kemampuan analisis dan logika serta tanggung jawab tidak bisa ditanamkan berdasarkan  bias gender. Baik Anak perempuan maupun anak laki-laki memiliki tanggungan yang sama dalam menginternalisasikan nilai-nilai yang ada di sekitarnya. Baik Anak perempuan maupun anak laki-laki memiliki kesempatan dan juga akses akan mencapai cita-cita yang sama. 

Pada film Petualangan Sherina 1 kita disuguhkan dengan karakter tokoh anak perempuan yang pemberani dan juga penuh energi. Menariknya, Sherina sebagai sosok anak perempuan diberikan kebebasan berekspresi dan juga pilihan aktivitas sesuai yang ia senangi oleh kedua orangtuanya. Penanaman nilai sopan santun, tanggung jawab dan disiplin juga diinternalisasikan oleh kedua orang tua Sherina bukan berdasarkan bias gender, namun sebagai bentuk penyempurnaan pembelajaraan suatu individu. 

Keinginan Sherina untuk menjadi tangguh dan 'Jagoan' ia tunjukan dengan berbagai bentuk sikap dan hal-hal simbolik lainnya, salah satunya adalah dengan menggunakan beberapa plester di kaki, dahi dan juga tangannya. Ketika plester tersebut hendak dilepas oleh ayahnya, Sherina berujar "Yang nempel biarin aja nempel, biar kaya jagoan". Adegan itu menunjukan Sherina sebagai seorang anak kecil perempuan menginterpretasikan bahwasannya plester yang menempel pada badannya menjadi simbol 'tangguh' akibat aktivitas yang dilakukan. Sikap tangguh atau "jagoan" merupakan sikap yang diperlukan seseorang, baik laki-laki maupun perempuan sebagai upaya bertahan hidup. 

 

Sumber 

Boeree, C George. (2006). Personality Theories; Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia. Jogjakarta: Prismashopie. 

Fiska. (2021). Teori Piaget: Tahapan Perkembangan Kognitif. Diambil dari https://www.gramedia.com/literasi/teori-piaget/ 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun