Pengenalan persepsi gender pada anak pada umumnya sudah dibentuk bahkan sebelum anak lahir. Bentuk-bentuk simbolik terkait gender pada anak biasanya dimulai dari warna dan juga mainan. Dimana ketika orang tua mengetahui anak dalam kandungannya berjenis kelamin perempuan, maka akan ia dibelikan perlengkapan berwarna pink serta mainan-mainan yang sering diartikan sebagai simbol feminim, seperti boneka, barbie dll. Sedangkan ketika orang tua mengetahui bahwa anak yang ia kandung berjenis kelamin laki-laki, maka akan ia belikan perlengkapan berwarna biru dan juga mainan-mainan yang diartikan sebagai simbol maskulin, seperti mobil-mobilan, robot dll.Â
Pembentukan identitas gender pada anak akan mulai ia pahami ketika memasuki fase pra-operasional. Dimana pada fase ini anak sudah mulai bisa mengartikan simbol-simbol di sekitarnya dan juga melakukan proses imitasi. Persepsi identitas gender pada anak akan diperoleh bukan saja hanya dari warna dan mainan yang melekat selama ini pada dirinya, namun juga dari norma dan nilai yang ditanamkan orang tua, kebiasaan yang diajarkan, batasan-batasan yang diberikan juga pembagian fungsi sosial.Â
Pada masyarakat yang patriarki anak perempuan cenderung ditekankan untuk bermain permainan yang sifatnya domestik , seperti menjadi "ibu-ibu-an", bermain masak-masak dll. Atau pada profesi-profesi lainnya permainan pada anak perempuan cenderung menekankan pada kemampuan afeksi dan verbalnya, seperti permainan dokter dan guru. Sedangkan anak laki-laki cenderung memiliki kebebasan yang lebih banyak, mulai dari sepakbola, layang-layang, bersepeda, lego dll. Penekanan permainan pada anak laki-laki cenderung menekankan pada motorik kasar serta pengasahan logikanya.Â
Keluarga dengan pembagian tugas sosial yang patriarki biasanya juga cenderung akan mempengaruhi bagaimana persepsi identitas gender anak kelak. Karena melalui berbagai hal simbolik tadi, anak akan menginterpretasikan bahwasannya menjadi perempuan adalah dengan menjadi seseorang yang lemah lembut, mengayomi, penyayang, penyabar. Pun profesi yang identik dengan identitasnya adalah dengan menjadi ibu rumah tangga, guru dan juga dokter. Sedangkan menjadi laki-laki anak akan cenderung menginterpretasikan adalah dengan menjadi seseorang yang kuat, berani, bertanggung jawab dan lain lain, pun profesi-profesi yang identik dengannya.Â
Pada masyarakat patriarki bias pada gender seseorang mengakibatkan adanya pembatasan aktivitas dan peranan sosial, yang mana ini akan berpengaruh pada kebebasan pilihan hidup suatu individu kedepannya. Bias gender pada masyarakat patriarki juga mempengaruhi bagaimana ketahanan sosial anak kedepannya. Pembentukan identitas gender yang bersifat patriarki hadir dari mekanisme pertahanan diri manusia purba. Dimana perempuan yang memiliki rahim dan alat reproduksi lainnya memiliki konsekuensi logis untuk mengandung dan menyusui. Untuk bertahan hidup manusia purba akhirnya membagi tugas dan peran sosialnya, perempuan menjaga anak dan rumah, manusia purba laki-laki mencari makan dan berburu. Kondisi tersebut terjadi karena pada zamannya masih banyak keterbatasan-keterbatasan alat dan juga sistem yang menjadikan manusia untuk dapat bertahan hidup harus mengandalkan kemampuan fisiknya.Â
Pada masa ini, pembagian fungsi sosial dan juga pendefinisian identitas gender seseorang sudah tidak relevan lagi dikategorikan berdasarkan fungsi fisik dan biologisnya. Hal ini dikarenakan perkembangan peradaban menjadikan manusia bertahan hidup bukan mengandalkan pada kemampuan fisiknya, namun kemampuan kognitifnya Anak perempuan maupun anak laki-laki ketika diberikan akses dan didikan tanpa bias gender, secara umum memiliki kemungkinan untuk dapat bertumbuh dan perkembang sama baiknya. Baik anak perempuan maupun laki-laki harus memiliki akses dan juga nilai yang sama. Kemampuan afeksi, kemampuan berbahasa, kemampuan analisis dan logika serta tanggung jawab tidak bisa ditanamkan berdasarkan  bias gender. Baik Anak perempuan maupun anak laki-laki memiliki tanggungan yang sama dalam menginternalisasikan nilai-nilai yang ada di sekitarnya. Baik Anak perempuan maupun anak laki-laki memiliki kesempatan dan juga akses akan mencapai cita-cita yang sama.Â
Pada film Petualangan Sherina 1 kita disuguhkan dengan karakter tokoh anak perempuan yang pemberani dan juga penuh energi. Menariknya, Sherina sebagai sosok anak perempuan diberikan kebebasan berekspresi dan juga pilihan aktivitas sesuai yang ia senangi oleh kedua orangtuanya. Penanaman nilai sopan santun, tanggung jawab dan disiplin juga diinternalisasikan oleh kedua orang tua Sherina bukan berdasarkan bias gender, namun sebagai bentuk penyempurnaan pembelajaraan suatu individu.Â
Keinginan Sherina untuk menjadi tangguh dan 'Jagoan' ia tunjukan dengan berbagai bentuk sikap dan hal-hal simbolik lainnya, salah satunya adalah dengan menggunakan beberapa plester di kaki, dahi dan juga tangannya. Ketika plester tersebut hendak dilepas oleh ayahnya, Sherina berujar "Yang nempel biarin aja nempel, biar kaya jagoan". Adegan itu menunjukan Sherina sebagai seorang anak kecil perempuan menginterpretasikan bahwasannya plester yang menempel pada badannya menjadi simbol 'tangguh' akibat aktivitas yang dilakukan. Sikap tangguh atau "jagoan" merupakan sikap yang diperlukan seseorang, baik laki-laki maupun perempuan sebagai upaya bertahan hidup.Â
Â
SumberÂ
Boeree, C George. (2006). Personality Theories; Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia. Jogjakarta: Prismashopie.Â