Suatu hari, saya pernah merasa tidak nyaman karena ucapan salah seorang teman. Menurutnya, di usia kepala dua keatas ini, seseorang sudah sepantasnya tidak membaca novel atau karya fiksi. Hal tersebut nampak jelas dari nada bicaranya yang terkesan terdengar seperti 'Hah? di usia sekarang masih doyan baca novel?' kemudian diperkuat dengan ia yang mulai merekomendasikan buku self improvement kepada saya. Saat itu, saya merasa sedikit tersinggung dan ingin menjelaskan bahwa novel tidak sebatas fantasi percintaan yang mampu membuat hati berbunga-bunga, novel tidak selalu menggiurkan ketika memiliki plot twist yang mindblowing. Akan saya tegaskan di awal, bahwa menurut saya semua buku pasti ada peminatnya masing- masing. Saya pun memiliki dan membaca beberapa buku self improvement, salah satunya adalah Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodoamat yang sekarang raib entah dimana keberadaannya.  Â
Saat itu juga rasanya saya ingin menjelaskan panjang lebar dan mengenalkan karya sastra fiksi kepadanya. Saya ingin merekomendasikan Bumi Manusia karya Pram, kumpulan cerpen Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi karya Eka Kurniawan, dan Laut Bercerita Karya Leila S. Chudori. Karya sastra fiksi tidak sebatas memuat hal-hal yang menyenangkan, tetapi lebih dari itu.
2024, entah mengapa saya gemar membeli karya sastra klasik dari penerbit Kakatua yang kini totalnya mencapai 12 buku. Oh, tentu saja ada yang belum saya baca.  Diantaranya yang paling membekas di ingatan saya adalah 6 Tokoh yang  Mencari Penulisnya, Ruang Bagi Perempuan, Mimpi Orang-Orang Sinting. Karya sastra klasik memiliki tempat tersendiri di hati saya karena ketika membaca, rasanya sedang tidak sedang diburu oleh waktu untuk mengejar akan seperti apa jalan cerita selanjutnya. Semuanya berjalan secara perlahan dan santai ketika saya mencoba memahami alur-alur ceritanya.
Harves Prude, dalam artikelnya menulis, Buku-buku hebat juga punya sesuatu untuk dikatakan tentang zaman kita sendiri. Kebijaksanaan mereka tidak mati bersama generasi mereka. Baca Selengkapnya.
Berikut adalah alasan mengapa seseorang minimal sekali membaca karya sastra fiksi.
1. Menajamkan Kecerdasan
Emanuele Castano dan David Comer Kidd, menyatakan bahwa sastra fiksi sangat bergantung pada persepsi para pembaca untuk memahami sendiri kondisi psikologis dan emosional yang kompleks dari tokoh yang termuat dalam cerita hingga keterkaitannya antara satu tokoh dengan yang lain. Sastra fiksi mengajarkan perilaku sosial yang empiris (kejadian yang terdapat di dunia nyata). (Baca disini)
2. Mampu Melihat Permasalahan dari Berbagai Sudut Pandang
Seseorang akan menemukan banyak sudut pandang yang berbeda ketika membaca sebuah karya sastra fiksi. Misalnya terdpat seorang tokoh yang jahat, maka pembaca tidak langsung membenci dan menyalahkan tokoh tersebut, karena pasti ada latar belakang yang membuat tokoh tersebut melakuka tindakan kejahatan. Hal lain yang terjadi di luar isi cerita buku adalah perbedaan sudut pandang antar pembaca. Saya pernah mengulas karya milik Ziggy yang berjudul Di Tanah Lada. Saya mencoba memahami isi cerita dari sudut pandang tokoh utama yakni anak-anak bernama Ava dan P. Saya jadi tahu, bagaimana rasanya kembali menjadi bocah yang berusaha memahami peristiwa dalam hidupnya. Berbeda dengan kawan saya, ia memposisikan diri sebagai orang tua yang mencoba memahami isi pikiran anak-anak. "Kelak aku menjadi ibu, maka aku tidak boleh menyepelekan masalah anakku", katanya.
3. Mendapat Pelajaran Hidup yang Berharga