Mohon tunggu...
Rahmi Aziza
Rahmi Aziza Mohon Tunggu... -

a happy mom, tulisan saya yang lain bisa dilihat di www.rahmiaziza.com

Selanjutnya

Tutup

Nature

Air PAM vs Air Sumur

4 Agustus 2012   04:06 Diperbarui: 4 April 2017   17:18 23585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Di rumahmu pake apa? Air PAM atau sumur?

Kota-kota besar di Indonesia umumnya sudah dialiri air PAM, tapi ternyata banyak juga yang beralih menggunakan air sumur dengan membuat sumur bor, bukan dengan nimba yah, catet.

Kenapa? Berdasarkan pengamatan saya sih, mereka beralih karena merasa pake air PAM itu rempong. Ga tiap saat ngalir, airnya juga biasanya ngga layak konsumsi (jadi ngga bs buat minum n masak), disamping itu mereka juga merasa mampu membuat sumur bor yang lumayan mahal biayanya.

Saya inget waktu pertamakalinya menempati rumah sendiri di Makassar. Eh rumah ortu maksudnya, waktu itu saya masih SMP. Betapa repotnya kita malem-malem gotong-gotong air dari kran halaman depan untuk diisikan ke bak. Ya, meskipun airnya ngalir, rupanya ngga kuat naik ke bak dalem, jadi cuma bisa sampe di teras depan. Kalopun nyampe ke dalem, keluarnya sak ipritt-iprit, nungguin penuhnya kelamaan, ntar keburu mati lagi airnya.

Pernah juga kita kehabisan air. Trus saya mausk ke rumah sebelah yang masih tak berpenghuni. Di situ kebetulan bak kamar mandinya penuh. Kayaknya si pemilik waktu nengok rumahnya, sempet muter-muter kran trus lupa dimatiin. Akhirnya waktu air nyala, sampai luber-luber. Karena menurut saya itu mubadzir, merugikan si pemilik tagihan air dan juga seluruh umat manusia yang menggunakan air, akhirnya saya masuk rumah itu lewat jendela (yang tak terkunci) dan matiin kran airnya. See, betapa mulianya perbuatan saya kan… dan hari itu ketika di rumah saya krisis air, saya kembali ke sana, masih lewat jendela yang sama. Air di bak yang penuh itu berpindah ke bak kamar mandi saya. Yah, daripada airnya malah jadi sarang nyamuk di situ, mending dimanfaatkan *alesan.

Beberapa saat setelah itu ortu memutuskan membuat sumur bor dengan kedalaman bermeter-meter *lupa persisnya berapa. Trus buat tandon air di tempat yang agak tinggi.

Setelah punya sumur, antara kita dan PAMàEND, jadi ngga perlu bayar tagihan air lagi. Konsekuensinya tagihan listrik jadi bertambah, tapi ngga banyak sih.

Banyak orang yang memilih menggunakan air sumur bor supaya tidak kesulitan mendapatkan air bersih. Kalo butuh tinggal idupin mesin air, kapan aja bisa. Tapi bukan berarti tidak ada problem sama sekali ketika udah menggunakan air sumur. Di kos saya dulu, pernah kejadian sumurnya kering. Gara-gara itu saya dan temen-temen sampe ke mall hanya untung numpang buang air dan ganti pembalut!

Beberapa orang yang mengalami masalah ini, ada yang membiarkan saja, sampai nanti sumurnya kembali berair, ada pula yang kemudian menggali lebih dalam lagi sumurnya biar mendapatkan sumber air.

Sampai disitu saya merasa tidak ada sesuatu yang salah terhadap pembuatan sumur bor. Hingga suatu hari dosen bahasa Inggris saya, dalam sesi perkenalan bilang seperti ini, “Saya termasuk orang yang tidak mau membuat sumur bor.” Emang apa yang salah dengan sumur bor?

Setelah cari-cari internet, barulah saya tahu, besarnya volume pengambilan air tanah (dengan pembuatan sumur) menimbulkan dampak negatif. Selain dapat menurunkan tingkat permukaan tanah, menurunnya debit air tanah bisa mempercepat intrusi air laut ke daratan. Artinya, kandungan air tanah akan berubah menjadi air laut yang tidak layak konsumsi. Yang lebih mengerikan lagi jika penurunan permukaan tanah sudah lebih rendah dari permukaan air laut, maka potensi terjadi tenggelam sangat besar. Ih ngeri ya…

Sekarang setelah punya rumah sendiri, untuk kebutuhan air saya tetap menggunakan air PAM. Memang, masalahnya masih sama seperti dulu. Air PAM itu ngga selalu mengalir 24 jam. Cara mensiasatinya, supaya kita ngga repot nunggu-nunggu air adalah, dengan membuat bak penampung di halaman depan rumah. Kedalamannya bisa dibuat sesuai kebutuhan. Kira-kira 1,5-2 m saja sudah cukup.

Nah, kran yang terhubung dengan bak penampung ini kita buka saja terus. Kalo takut membludak airnya karena kepenuhan, kita bisa pasang alat yang bisa otomatis menghentikan aliran air jika bak sudah penuh.

Untuk mengalirkannya ke dalam rumah tentu saja kita butuh pompa air. Supaya pompa air ngga hidup-mati, hidup mati terus saat kita membuka kran, ada baiknya kita membuat tendon air. Jadi sehari cukup skali aja ngidupin mesin air. Hemat listrik kan.

Alhamdulillah dengan begitu saya ngga pernah kekurangan air. Tapi memang saya tidak menggunakan air PAM untuk masak dan minum. Untuk kebuthan konsumsi saya lebih memilih membeli air bersih dan air minum gallon. Memang menambah anggaran lagi, tapi tidak banyak dan tidak masalah juga yang penting bumi ini tetap lestari :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun