"Nanti, kalo udah melahirkan anak kedua dan kembali ke rumah sendiri, kamu harus punya asisten rumah tangga. Repot lho, punya bayi sama batita tanpa ART, nanti kamu ngga bisa ngapa=ngapain."
Begitu yang berulangkali dikatakan ibu mertua menjelang kelahiran anak kedua saya. Bukan hanya beliau, beberapa orang lainpun menyarankan hal yang sama.
Asisten Rumah Tangga. Sebenarnya sudah sejak lama saya berencana menggunakan jasanya. Tapi, mencari ART kan tidak gampang. Beberapa tetangga saya yang juga mencari buktinya belum kunjung dapat. Ada yang udah punya, sekalinya si ART ijin pulang kampung sebentar malah nggak balik-balik.
Melihat fenomena sulitnya mencari ART, saya sih mencoba lebih santai dan meyakini bahwa saya pasti bisa menjalani hari-hari dengan baik meskipun tanpa ART.
Saya memang ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah, tapi di rumah saya berkarya. Sebelum melahirkan anak kedua, saya rajin ngeblog dan nulis untuk media. Pengennya sih setelah melahirkan ya tetep rajin juga. Bahkan saya sudah menetapkan resolusi 2014 saya yaitu menerbitkan buku solo non fiksi.
Tapi... bisa gitu, ngurus rumah, suami, dua orang anak, terus masih nulis juga. Ngga punya ART loh. Saya sih meyakini kuncinya ada di manajemen waktu.
Menjadi ibu rumah tangga adalah main job saya, dan menulis adalah pekerjaan lain di luar itu, yang tentu saja dilakukan setelah pekerjaan utama saya tuntas dalam sehari.
Dari pagi sampai sore waktu saya pastilah akan dihabiskan sebagian besarnya untuk anak-anak. Kalau pas mereka tidur siang, emaknya mulai berjibaku berbenah rumah. Nah malam hari sewaktu mereka terlelap barulah saya bisa menulis dengan tenang. Targetnya tidak usah yang muluk-muluk, sehari satu cerita pendek saja. Tiga puluh hari terkumpul tiga puluh cerita. Setelah itu tinggal diedit, kirim ke penerbit, dan tunggu jawaban. Sambil menunggu ya nulis lagi...
Yang paling berat adalah menahan godaan untuk tidak ikutan tidur atau tertidur ketika nemenin mereka bobo *menatap bantal dengan nanar.
Dalam meraih mimpi seringkali harus ada yang dikorbankan. Kita tinggal memilih apa yang mau dikorbankan. Dan saya lebih memilih mengorbankan waktu tidur saya, yang asalnya delapan jam sehari atau mungkin lebih *dih kebluk amat yak, dipangkas jadi empat sampe enam jam sehari. Saya baca-baca di artikel kesehatan, engga masalah kok, yang penting tidurnya berkualitas dan tetap menjaga asupan gizi. Ya, ntar kalo udah bener-bener tepar bisa dibantu dengan minum kratingdaeng lah hahaha.
Ya, saya tidak mau sedikitpun mengorbankan waktu bersama keluarga terutama anak-anak. Saya ingin menjadi emak yang selalu ada buat mereka. Tapi di sisi lain saya juga ingin resolusi 2014 saya tercapai. Make it Real. Yakin bisa, aamiin.