Mohon tunggu...
Violet Jingga
Violet Jingga Mohon Tunggu... lainnya -

Hidup adalah mata air cerita yang tak ada habisnya, aku hanya seorang yang sedang belajar mengurai kisah dalam kata. penikmat puisi, suka langit, hujan, jingga dan senja. Kalo ga nemu disini mungkin aku lagi di http://ruangkecilku.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Tak Bersyarat

24 April 2013   12:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:41 1635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Cinta yang tulus adalah cinta yang tidak bersyarat”

Tak pernah terbersit akan seperti ini. Kupikir semua akan menjadi mudah buatku dan…buatmu. Tapi kenyataannya itu hanya perkiraanku, atau malah hanya anganku semata yang kutinggikan bangunannya dalam imaji akan indahnya hari esok denganmu. Terlalu besar harapku hingga aku melupakan kemungkinan ini. Entah sampai kapan. Apakah harus kulewati 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun…? Ataukah tak akan pernah kumenangkan sampai nafas terakhir berhembus atau… aku akan kalah sebelum semua berakhir?Perih.

###

Cinta yang tulus adalah cinta yang tidak bersyarat . Kalimat yang sangat aku kenal jauh sebelum ini dan terekam kuat di memoriku. Entah apakah kemudian kalimat ini yang menginspirasi perjalanan cintaku, aku tidak tahu. Tapi yang pasti aku merasakan ini terjadi dalam diriku. Seperti apa awalnya, bagaimana muasalnya aku pun tidak tahu dan tidak terlalu peduli dengan runtut seperti itu. Yang aku tahu, begini dan seperti inilah kisahku kini.

Cinta yang tulus adalah cinta yang tidak bersyarat. Cinta yang tidak memiliki poin-poin variabel, parameter tertentu  yang harus dipenuhi, tak perlu membayar harga mahal untuk menghadirkannya. Begitulah tafsir sederhanaku akan cinta. Dan mungkin tafsir ini yangmenggiring aku untuk menempuh dan menjalani ini semua.

###

Akhirnya kita menikah. Kita sah menjadi pasangan suami istri. Aku tidak begitu peduli apa alasannya sehingga kau mau menikahiku. Yang aku tahu aku senang, bahagia tak terkata,  akhirnya engkau bisa kudapatkan, bisa ku miliki. Akhirnya cintaku berlabuh di pelaminan. Engkau pun utuh menjadi milikku.

Hari-hari kita lalui. Sehari, dua hari, semginggu, sebulan…hingga aku mengerti bahwa ternyata aku salah. Aku tak pernah utuh memilikimu, aku bukan pemilik hatimu. Tapi perempuan itu, dialah pemiliknya. Meski akulah istri sah mu dan perempuan itu bukan sesiapa selain perempuan impianmu, tapi dia menempati singgasana terindah di ruang hatimu. Engkau kejam. Tak sedikit pun engkau mencoba mengerti hatiku, laraku. Bagimu aku yang harus memaklumi keadaanmu yang tengah berjuang untuk cinta kita. Sampai hatimu, menikmati setiap ‘diskusi’ via sms dengannya dihadapanku. Tega dirimu menyanjungnya didepanku.

“Asyik sekali keliatannya mas. Sms-an sama siapa sih?

“Ini, lagi diskusi sama Najmi dek”

“Diskusi apa memang kok sampai senyum-senyum begitu?”

“Biasalah, seputar pekerjaan”

“Diskusi pekerjaan kok sampai gitu amat sih mas. Lagian jauh amat diskusi sama Najmi, uda beda cabang beda divisi lagi. Kenapa nggak diskusi sama Ray, Imas atau aku aja sih. Kan dekat disini. Satu cabang satu divisi satu tim lagi. Kan lebih nyambung kalo medannya sama”

“Diskusi sama adik nggak seru, nggak berkembang. Beda kalau diskusi sama Najmi. Kepalanya dipenuhi ide. Biar beda medan tapi kalau dijelaskan keadaannya dia bisa kasih saran yang bagus” serasa petir menyambar telinga dan hatiku, ringan engkau berucap tanpa sedikitpun memalingkan perhatianmu dari layar ponsel padaku.

Lagi, aku hanya menelan air mata.

Sikapmu membuat aku tidak bisa menahan diri untuk tidak membuka telepon selulermu. Meski sudah kuduga kalau aku akan bertambah sakit dengan melakukan itu. Tapi aku tidak bisa mencegah dan mengendalikan rasa penasaranku. Terbukti…aku semakin luka dan menyedihkan. Di folder inboxmu tidak kutemukan selain pesan dari perempuan itu. Gila. Semua pesan dari perempuan itu kau simpan, dan pesan dariku…satu pun tak ada yang tersisa. Meski tidak ada sedikitpun isi dari pesan itu yang membuat aku harus marah pada perempuan itu, tapi aku terbakar api cemburu. Dia kompetitor terkuat bagiku, walau sejak awal perempuan itu tidak pernah melibatkan diri dalam kompetisi ini.

###

Dulu aku berpikir mendapatkan seseorang yang di cintai pasti akan membahagiakan, apalagi bisa menjadi pasangan hidup dengannya, betapa menyenangkannya. Setiap kali ada yang bertanya padaku, “pilih mana menikah dengan orang yang dicintai atau yang mencintaimu?”, selalu ku jawab dengan cepat,”ya menikah dengan orang yang dicintailah. Gimana mungkin aku bisa hidup dengan orang yang tidak kucintai. Gak kebayang deh”. Tapi kini…aku harus berpikir beribu-ribu kali masihkah ku yakin atau tidak.

Aku pernah mendengar bahwa laki-laki sulit melupakan perempuan cinta pertamanya. Apakah ini yang terjadi padamu mas aku tidak tahu. Jika benar itu yang terjadi, tapi mengapa harus perempuan itu? Bukankah kamu mengenalnya setelah banyak wanita yang singgah dihatimu sebelumnya? Ataukah mungkin perempuan itu lah perempuan pertama yang istimewa dihatimu, dan sejatinya dialah cinta pertamamu? Arghhhhhhhhhhh…

Perempuan itu, teman kuliah satu jurusan, satu angkatan dan berada satu kelas denganku dan suamiku, mas Yono. Perempuan yang dari segi fisik tak lebih cantik dariku, tak lebih berlimpah dariku. Tapi mampu menyedot seluruh energi perhatian dan cintamu. Ya, untuk dia perempuan mungil nan energik yang katamu selalu nyambung diajak diskusi apapun. Dia…yang  tidak akan pernah menjadi hari depanmu, hanya menjadi impianmu. Dia yang tidak pernah mencintaimu bahkan tak pernah menaruh meski sedkitpun harap padamu. Dia yang tidak pernah memandang padamu selain pandangan sebagai seorang teman. Tapi kamu, kamu selalu memandangnya dengan sorot mata penuh arti, tatapan cinta. Dan aku selalu sakit setiap kali aku harus menyaksikan itu. Aku benci. Tapi aku pun tak bisa apa-apa.

Dari dulu pun aku menyadari itu. bahwa engkau teramat sangat mencintainya dan berharap dapat menjadikan pendampingnya, pasangan hidupmu. Aku pun mengerti ketika engkau mulai mendekatiku dan mengambil posisi sebagai sahabatku, tak lebih sebagai strategimu untuk memperoleh semua informasi tentangnya, untuk mendekati dan meraih simpatinya.Dan lagi aku tak bisa apa-apa. Bahkan aku menikmatinya, karenanya membuat aku punya waktu bersamamu. Meski yang kuterima adalah luka. Karena setiap kali engkau datang padaku, yang kau tanya selalu dia dan dia. Tak sedikit pun aku ada diingatanmu.

Tak hanya tatapmu, caramu memanggilnya pun sangat berbeda. Mesra dipendengaranku. “Mi”, begitu kau memanggilnya. Ya, bisa jadi memang itu diambil Najmi. Tapi pikiranku dipenuhi dengan kemungkinan lain, kalau ‘Mi’ yang kamu maksud adalah mami atau ummi. Berlebihan ya aku, tapi itu aku rasa itu bukan cuma feeling, sikapmu, bahasa tubuhmu telah memberikan penjelasan yang lebih dari cukup untukku.

Waktu itu kita sedang kumpul-kumpul di bawah pohon nan rindang di depan fakultas.

“Tak terasa ya sebentar lagi kita wisuda, ntar siapa yang bakal duluan married ya?” Karim membuka topik baru.

“Kayaknya Nurmi sama Yono nih pemecah rekornya” sambut Ningsih.

“Iya, dugaanku juga gitu” ucap Najmi yakin. “Nanti kalo kalian married, mau dikasi kado apa nih dari kita-kita? Sambungnya.

“Wah, kalo aku maunya dikasih kulkas, atau TV atau mesin cuci” jawabku

“Wuihh…gak sekalian rumah dan isinya bu. Gak kira-kira nih Nur, masih tangungan nih masih nadah tangan sama ortu. Tapi kalau mau dikasih gambar kulkas, TV atau mesin cucinya aja sih bolehlah hehehe…”

“Jiah kalo itu ngapain nanya tadi neng. Ogah ah, gak mau dikasih gambarnya aja”

Tiba-tiba kamu berseru lirih ‘Aku sih Mi mau dikasih orangnya aja, yang lain-lain nggak”

Glek. Seketika tenggorokanku serasa tercekat. Sejenak semua terdiam dan saling pandang tak mengerti. Hanya kita, aku dan kamu yang paham maksudnya.

###

Lalu, menyesalkah aku? Tidak. Tak pernah sedikitpun aku sesali sakit ini. Tak sedikitpun aku ingin mengutuk luka ini. Meski airmata belum jua kering dan entah akan mengering. Karena tangisku bukanlah terjemah sesal. Isakku tak lebih sebagai caraku untuk menggenggam kekuatan.

Aku sadar kamu tak pernah memilihku. Akulah yang memilihmu. Dan kamu..kamu menerimaku, memberi kesempatan bagiku. Dan kini, hari tak seindah harapku. Harusnya dari dulu aku menyadari inilah konsekuensi pilihanku. Pilihan yang kubuat tanpa paksaan siapapun karena kamu tak pernah atau belum memilihku.

Sakit. Perih luka yang kau beri. Tapi apa daya, aku telah memulai dan pantang bagiku untuk mundur walau selangkah. Biar kutuntaskan. Aku yakin bisa.

###

Setahun berlalu. Dan kini kandunganku tinggal mengunggu hari untuk lahiran buah hati kita. Aku berharap permata hati kita akan menjadi penyelamat bahtera yang baru dilayarkan ini. Berharap, bisa membuatmu sadar dan berubah hingga akulah yang memenangkan hatimu. Akulah ratu dikerajaan hatimu.

Anak kita lahir dengan selamat. Seperti hasil USG, anak kita perempuan. Cantik. Wajahmu sumringah menggendongnya dan aku melihat rona kebahagiaan itu terpancar dari matamu. Bidadari kecil kita engkau iqomatkan. Aku pun menagih janji nama yang sudah kamu rencanakan untuk bidadari kecil kita. Seperti yang kamu janjikan beberapa bulan yang lalu aku akan  diberi tahu jika permata hati kita sudah lahir.

“Mas, jadi uda boleh dong adek tau nama untuk bidadari kita yang sudah mas siapin?”

“Pasti dong sayang”

“Nama bidadari kecil kita…Dewi Najmi”

Tak perlu kutanya lagi padamu apa maksud pemberian nama itu. Karena aku yakin hanya akan membuat lukaku semakin nganga. Aku yang baru saja berjuang antara hidup dan mati demi anak kita, dan belum pulih sepenuhnya, seketika merasakan dunia serasa runtuh oleh ucapmu yang seringan angin menerbangkan partikel-partikel debu. Ingin rasanya hidupku sampai disini saja, agar sakit ini cukup sampai disini. Semua harapku akan hari esok yang indah seketika kandas, karam sebelum kuharungi luas lautan. Aku…rasanya tak sanggup. Perempuan itu seakan terus membayangi biduk kita. Ingin ini hanya mimpi buruk. Tapi inilah kisahku. Tak berani lagi kubangun mimpi indah tentang ending cerita ini. Tak mampu lagi kutata kepingan hati. Tidak, kepingan itu telah menjadi serpihan. Air mata telah mengering. Tak ada tangis luka ini. Karena aku sudah mulai pikun bagaimana rasanya sakit.

Aku kalah...

24042013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun