"Falsafahnya, kalau masyarakat ke luar rumah, mereka akan tetap ingat untuk selalu menjalankan kewajiban solat," tukas Richie.
Bahu Membahu Membentuk Desa Wisata
Richie menceritakan bagaimana desa wisata ini terbentuk. Menurutnya, dahulu lokasi ini bisa dibilang kampung terpencil, karena jauh dari pusat kota dan jalan menuju ke sana belum baik. Namanya mulai dikenal luas sejak 2019. Kala itu, sejumlah mahasiswa bersama masyarakat setempat melihat potensi utama kampung ini yang tidak dimiliki kampung lain di Sumatera Barat.Â
"Kami lihat kampung kami ini unik, pengunjung bisa merasakan kehidupan adat yang kental jika datang ke sini," pukasnya. Â
Bahu membahu, mereka berusaha mengenalkan Kampung Sarugo ke masyarakat, meminta bantuan infrastruktur dari pemerintah untuk perbaikan jalan, mendidik anak-anak muda untuk menjadi guide, serta mengajak para pemilik rumah menyewakan kamarnya untuk homestay.
Bersama ketua adat, mereka membentuk Pokdariwis (Kelompok Sadar Wisata). Kelompok inilah yang kemudian mengkoordinir semua kegiatan wisata di sana, termasuk mengurus permintaan homestay serta membuat dan mengisi sosial media.Â
Bersama anak-anak muda ini, Pokdarwis sedang mengembangkan paket wisata untuk lebih menarik minat wisatawan. Selain bisa menginap dan merasakan kehidupan masyarakat Kampuang Sarugo, pengunjung juga bisa memetik jaruk di perkebunan warga dan bermain di aliran sungai yang mengeliling kampung ini. Hal ini ia lakukan karena menurutnya, wisatawan kini sedang menggemari wisata berbasis kehidupan lokal.Â
Bertambah Pundi Berkat Desa Wisata
Berkat kerja keras ini, perlahan tapi pasti Kampung Sarago mulai didatangi wisatawan. Kehadiran para wisatawan ini membawa angin segar pada kampung yang dikenal sebagai penghasil jeruk ini. Penghasilan penduduk yang tadinya hanya bersumber dari kebun jeruk, kini bertambah dari hasil menjadi guide atau bahkan menyewakan rumahnya untuk menginap.
Seperti yang dirasakan Mak Odang Nursafrida, ibu tua yang dengan ramahnya mempersilakan saya mengintip bagian dalam rumahnya, menikmati Gelamai (dodol khas Minang) dan menyesap secangkir kawa daun, teh dari daun kopi yang hanya ada di Minangkabau.Â
Menurut ceritanya, sejak Kampung Sarugo dijadikan desa wisata, ia bisa menyewakan kamar kosong tak terpakai milik anaknya yang kini sudah merantau ke Tanah Jawa. Mak Odang mengakui, saat akhir pekan atau musim liburan, ia bisa mendapatkan pendapatan cukup lumayan dari hasil menyewakan kamarnya itu. Satu kamar ia sewakan seharga 120 ribu rupiah per orang dan biasanya ada 3-5 orang yang menginap di rumahnya. Belum lagi ditambah jika penginapnya meminta dimasakkan makanan khas Minang.
Bukan hanya Mak Odang, ada 7 keluarga lainnya yang mendapat tambahan pundi-pundi dengan menyewakan homestay. Dan ada belasan anak muda, yang tadinya menganggur, kini mulai belajar menjadi guide.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!