Salah satu atau mungkin satu-satunya sinetron yang rajin saya tongkrongi belakangan ini adalah "Tukang Bubur Naik Haji" yang tayang di RCTI sehabis magrib. Saya suka sinetron ini karena mengangkat realita kehidupan sehari-hari.
Critanya semalam kami ngumpul sekeluarga sambil ngajak main Hafizh yang belum mau tidur. Kebetulan ada adegan Mak Nok yang biasa dengan gaya sombong sesukanya maki-maki orang, tiba-tiba Hafizh yang duduk di pangkuan adek saya brontak dan marah. Reaksi yang biasa diberikan Hafizh jika dipaksa makan kalo dah kenyang atau karena bosan dibecandain mulu. Sejenak kami terdiam dan bengong melihat reaksi Hafizh yang spontan dan kemudian kembali biasa-biasa aja setelah pandangannya beralih dari TV. Serentak kami tertawa dan adek saya berkomentar, "tuh kan, Hafizh aja ngak suka sama mak Nok. Jadi kalo besar nanti ngak boleh sombong ya Nak"!
Cuplikan adegan kemarahan Hafizh itu akhirnya jadi bahan diskusi kami. Ternyata sejak kecil kita telah dibekali akal fikiran (mungkin bagi anak di usia dini disebut instink) untuk membedakan mana yang baik dan yang buruk dan secara alami kita tidak menyukai hal-hal jelek. Hanya saja seiring bertambahnya usia dan pengaruh lingkungan yang beraneka ragam membuat sensitifitas kita untuk menolak setiap hal jelek dan melakukan sebaliknya tergerus. Apalagi kalau dalam tahap masa perkembangan tersebut kita tidak dibekali dan terus menerus diingatkan akan nilai, sopan-santun, adab dan berbagai pendidikan moral dan agama lainnya.
jadi bagaimana dengan kita yang telah terlanjur terpolusi (merasa sendiri)? Hati kita bukanlah batu yang tidak bisa di rubah. Yang perlu kita lakukan mungkin me-refress-nya lagi supaya setulus dan semurni bayi yang baru lahir. Ngak mungkin? Tak ada kata tak mungkin kalo kita mau mencoba. Ngak mungkin persis tapi mungkin saja mendekati. Yah tergantung kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H