Dalam kehidupan berkeluarga seorang istri/perempuan seringkali disimbolkan dengan sifat lemah ; seperti lemah lembut, lemah daya dibandingan suami, seorang yang harus diatur dan tunduk, seorang yang butuh dilindungi dan diayomi, seorang yang harus selalu di jaga, dupenuhi kebutuhannya dan bla...bla...bla...oleh suaminya tentunya.
Tapi seiring perkembangan zaman tugas istri yang katanya cukup di dapur, sumur dan (maaf) kasur kayaknya tidak cocok lagi. Upss.... jangan buru-buru salah tafsir dengan kata-kata tidak cocok. Penjelasannya begini, tidak semua keluarga dalam hal ini kepala keluarga mampu memenuhi kebutuhan rumah tangganya tanpa adanya sokongan atau bantuan dari sang istri bahkan malah ada yang sebaliknya, seorang istri memenuhi lebih dari sebagian kebutuhan keluarga dibanding suami, mungkin karena perbedaan penghasilan. Saya tidak ingin membahas itu, sepanjang kedua belah pihak saling legowo dan tidak menjadi permasalahan diantara mereka semuanya akan baik-baik saja. Sebuah catatan dalam kasus seperti ini, agama tidak membebankan pemenuhan kebutuhan keluarga kepada seorang istri tapi kalo dengan iklas dia melakukan tentunya menjadi iabadah baginya.
Di negara kita kasus seperti ini bukan lagi menjadi hal baru yang mengherankan bagi sebagian orang. Tapi perlu kita ingat dalam sebuah lingkungan masyarakat yang paling sulit itu adalah membatasi diri untuk menilai dan men-juct (menghakimi) orang lain sebelum menelusuri fakta yang sebenarnya. Pengalaman saya menghadapi karyawan dan pengalaman pribadi sebagai perempuan pekerja, akan timbul masalah jika terjadi ketimpangan. Tiba-tiba suami kehilangan pekerjaan dan kita harus tetap bertahan untuk menjaga kelangsungan hidup keluarga. Bagi kedua belah pihak tidak muncul masalah, mungkin sembari terus mencari peluang pekerjaan baru sang suami dengan rendah hati menggantikan sebagian pekerjaan istrinya untuk meringankan pekerjaan rumah, sebut saja jaga dan mandiin anak, nyuci atau masak. Sebelumnya mereka juga mengerjakannya bergantian karena tidak bisa membayar seorang pembantu rumah tangga.
Masalah justru timbul dari luar, yang paling dekat mungkin dari keluarga. Kenapa anak-saudara kami dijadikan pembantu, pekerjaan rumah tangga itu tugas istri bukan suami, dan bla...bla...bla...Ribet kan? kalo saya orangnya jutek akan balas jawab, "Emangnya tugas cari nafkah kewajiban siapa?" dan panjanglah urusannya. Mending saya diamkan saja, kecuali suami yang angkat bicara seperti itu, hhhmmmmmm....... ayo kita fight dan hitung-hitungan.
Intinya sering sekali permasalahan rumah tangga itu datangnya justru dari luar bukan dari kedua belah pihak. Nah, dalam kondisi kedua belah pihak tidak bijak memahami dan menjawab reaksi keluarga dan malah terpicu emosi maka kiamat rumah tangga akan menyusul.
Maka kesimpulannya. Jika kamu seorang istri pekerja dan kira-kira penghasilan kami sama atau melebihi suami hati-hati menjaga sikap dan perasaan suami. Yakinkan kalau keputusan bekerja adalah keputusan bersama dan untuk kepentingan keluarga bukan untuk kepentingan ego, capek-capek sekolah cuma membabu di rumah. Tugas di rumah juga bukannya ringan dan adalah tugas mulia. Trus kalo denger sentilan dari kerabat atau tetangga harus bijak menyikapi dan sabar sepanjang intern kita nga ada masalah, sebab jika emosi menimpali persoalan akan melebar dan meleber.
He....he....he.... oke deh kayaknya waktuistirahat sudah habis dan harus kembali kepada tugas.
Catt . sekedar curhat siang, semoga ada manfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H