Mohon tunggu...
Rahma Dwi Astuti Giyanto
Rahma Dwi Astuti Giyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa - POLITEKNIK STIA LAN JAKARTA

Mahasiswa Administrasi Pembangunan Negara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kekerasan Seksual Terus Berlanjut: Adakah Ruang Aman yang Tersedia?

1 April 2024   16:05 Diperbarui: 1 April 2024   16:08 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://id.pinterest.com/pin/6122149486494102/

Ketika seseorang direndahkan, dihina, atau diserang, itu disebut sebagai "kekerasan seksual", yang dapat menyebabkan penderitaan fisik dan mental bagi korbannya. Setiap orang, tidak peduli usia atau gender, dapat melakukan hal ini baik sebagai pelaku maupun korban. Kekerasan seksual saat ini terjadi di semua tempat, termasuk sekolah, kampus, tempat kerja, pesantren, bahkan di rumah. Tempat - tempat yang dulunya dianggap sebagai "tempat teraman" pun sekarang berada dalam bahaya. 

Seperti yang kita ketahui, tingkat kasus kekerasan seksual di Indonesia setiap tahunnya semakin meningkat dan selalu menjadi topik perbincangan hangat. Tercatat pada data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) dalam rentang waktu Januari hingga November 2023 terdapat 4.280 kasus kekerasan seksual dan menempati urutan pertama dalam data tersebut. Pada data tersebut baru mencatat sesuai dengan kasus - kasus yang telah dilaporkan, lalu bagaimana dengan kasus kekerasan seksual yang belum pernah dilaporkan? tentu saja jumlah nya pasti  ratusan atau bahkan ribuan kasus. 

Apakah ada alasan mengapa para korban tidak melaporkan kasus tersebut? ada berbagai faktor yang dapat menjadi alasan para korban tidak melaporkan kasus kekerasan seksual, yaitu banyaknya korban yang masih merasa takut akan konsekuensi yang mungkin timbul dari melaporkan kasus kekerasan seksual, para korban sering merasa malu atau terhina atas peristiwa yang mereka alami, beberapa korban terus merasa bersalah atau menyalahkan diri atas apa yang terjadi pada mereka, dan yang lebih penting masih tingginya stigma negatif yang melekat pada korban, terutama perempuan, yang menyebabkan ketidakpercayaan serta ketakutan pada para  korbannya. 

Masyarakat masih sering menyalahkan para korban kekerasan seksual atas peristiwa yang mereka alami, seperti jika mereka tidak berpakaian mencolok hal itu tidak akan terjadi, jika mereka tidak berperilaku seperti itu pelaku pun tidak akan melakukan hal tersebut, dan banyak lagi alasan yang ada. Semua aspek dalam diri kita sebagai perempuan dinilai, dari segi perilaku, cara berpakaian, bahkan bagaimana kita bertindak atau berbicara pun dapat menjadi salah satu faktor yang membuat para pelaku mengambil kesempatan untuk melakukan tindakan kekerasan seksual. Lalu, benarkah kita sebagai korban harus selalu disalahkan? bagaimana dengan para pelaku? bukankah mereka yang melihat perempuan sebagai objek yang mengarah pada hal yang bersifat nafsu?. Semua pandangan yang muncul, dikarenakan masih kurangnya edukasi yang diberikan tentang kekerasan seksual terhadap masyarakat.

Saat ini di beberapa berita atau sosial media muncul berbagai kasus kekerasan seksual di tempat - tempat yang telah kita anggap sebagai "tempat teraman", seperti kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh ayahnya sendiri terhadap anak kandungnya, kasus pelecehan seksual seorang guru terhadap muridnya, dan lain - lain. Semakin hari kasus kekerasan seksual muncul di tempat - tempat yang tidak pernah kita duga, rumah? sekolah? tempat kerja?, semua tempat tersebut sudah masuk ke dalam beberapa kasus kekerasan seksual yang pernah terjadi. Lalu definisi apalagi yang bisa kita jadikan sebagai ruang berlindung?, adakah tempat dimana hak perempuan untuk mengeluarkan kebebasan mereka dalam bertindak tanpa adanya batasan atau stigma dari masyarakat luas?.

Untuk mengatasi masalah kekerasan seksual tersebut, pemerintah mengeluarkan Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang membahas terkait pencegahan segala bentuk tindak pidana kekerasan seksual, penanganan, perlindungan, dan pemulihan hak korban, koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta kerja sama internasional agar pencegahan dan penanganan korban seksual dapat terlaksana dengan efektif. Sejak dikeluarkannya UU TPKS ini, angka tindak pidana kekerasan seksual  di Indonesia masih dalam rentang yang cukup tinggi, hal ini dikarenakan modus - modus yang digunakan oleh para pelaku semakin berkembang, sehingga kriteria jenis kekerasan seksual pun semakin bertambah. Didukung juga dalam segi penerapan UU TPKS dianggap belum diterapkan secara optimal dan merata oleh aparat penegak hukum (APH). Untuk mengoptimalisasi implementasi penegakan hukum UU TPKS diperlukan pelaksanaan sosialisasi yang lebih terarah, terutama kepada seluruh pihak sebagai pengguna UU TPKS agar dampak dari UU TPKS semakin dirasakan manfaatnya.  

Tidak hanya dari segi penegakan hukum yang tegas, namun perlu adanya perluasan terkait pendidikan kekerasan seksual, untuk menghapus stigma yang ada pada masyarakat serta membuka ruang terbuka bagi para korban untuk berani berbicara terkait peristiwa yang telah mereka alami. Pemerintah juga perlu untuk memberikan perlindungan bagi para korban yang terdampak akibat kasus kekerasan seksual dalam memperbaiki kesehatan psikologis, fisik, serta pasca trauma yang mereka alami. Semua aspek, baik dari pemerintah maupun masyarakat perlu bekerja sama dalam memberantas kekerasan seksual dan tidak menormalisasikan berbagai bentuk kekerasan seksual yang terjadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun