Mohon tunggu...
Rahma Utami
Rahma Utami Mohon Tunggu... -

A fan of photography, traveling, spicy foods, and mother earth. Empunya @Ardhproject.

Selanjutnya

Tutup

Politik

a

2 November 2010   09:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:54 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini sebenarnya antara prihatin sama kesal : prihatin dengan masyarakat sekaligus prihatin dengan parlemennya. Banyak tindak-tanduk parlemen/wakil rakyat kita yang pongah dan membuat jengah masyarakat Indonesia. Hal ini umumnya diakibatkan oleh kelakuan atau kebijakan yang mereka buat. Tapi saya juga seringkali sebal dengan tindakan masyarakat Indonesia yang latah, latah memaki dan memprotes tapi gak tau yang diprotesnya apa, bahkan bagi para akademisi dan kalangan terpelajar sekalipun.

Mungkin udah sering disebut sebagai reformasi kebablasan. Ngomoooong aja semua, gak dikontrol, gak disaring. Sedikit omongan cerdas, lebih banyak omongan provokatif.  Gak sekedar soal omongan, reformasi tindakannya kebablasan, yang demo rusuh, yang di dalem parlemen rusuh..Hmmpfh.

Tapi (dgn modus praduga tak bersalah ---halah--) sebetulnya gak sedikit juga para anggota parlemen yang gak "mbelok". Tapi, biasa lah, karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Yang belang idungnya, yg disalahin tetep aja orang/badannya. Sama aja kayak DPR, orang-orang yang lalai-nya berapa, yg di cap jelek smua-mua. Semoga memang masih ada bibit orang2 benar di dalam sana. kalau gak ada, entah negara ini mau dibawa kemana.

Sebenarnya ada sedikit ketakutan di dalam diri saya sih (mohon partisipasi anda setuju atau tidak akan kekhawatiran saya). Jika keadaan seperti ini terjadi terus menerus : parlemen dianggap sebagai biang kebobrokan dan masyarakat dengan mudahnya menyalahkan pihak2 tanpa informasi yang relevan, bukan gak mungkin sistem parlemen kita gakan pernah dipercaya lagi sama masyarakat.  Yang lebih ngeri lagi, karena masyarakat yang gak jeli ngelola informasi, pihak-pihak yang sebetulnya bersalah dalam merusak tatanan pemerintah sebelumnya malah justru terpilih lagi dengan trik-triknya karena kesalahan di masa lampau hanya dilimpahkan kepada badan, bukan perseorangan. Padahal mungkin jika pandai mengelola informasi, kita bisa memilah mana sbetulnya pemberitaan yang menjurus, mana yang tidak, mana yang sebetulnya (dirasa) bersalah, mana yang bukan. Keadilan dan kritisasi harus datang dari diri kita sendiri.

Dengan laju informasi yang sekarang, kadang saya merasa aksi provokasi menjadi jauh lebih mudah, siapapun targetnya : rakyat kalangan bawah, mahasiswa, tokoh, kalangan atas, dsb. Apa lagi dengan era 2.0 sekarang, semua manusia dapat mengungkapkan pendapatnya di dunia maya (tak terkecuali saya), sementara informasi yang datang itu gak pleketiplek (utuh). Informasi sata ini tuh datang sedikit-sedikit, sepotong-sepotong, lebih mentingin kecepatan waktu daripada validitas berita.

Contohnya aja twitter, yg membatasi dg 140 karakter. Beda penggalan kata, beda pula maknanya. Kita gak tau kan kapan orang melihat si informasi yang disiarkan itu potongan ke berapa-nya. Yang ada kl gak infonya menarik, ato sepemikiran langsung sebar aja, gak di re-check. kalau ada salah, meski informasi bisa disebarkan lagi, kan tidak dapat meng -undo kejadian sebelumnya. Belum lagi target ralatnya belum tentu ada di tempat ketika ralat disebarkan. This world goes so fast dude... Beware for its speed.

Satu contoh yang berkaitan dengan parlemen. yang lagi hot-hotnya nih, soal si studi banding ke negara-negara Eropa kan ya.  Yah, seperti yang saya bilang sebelumnya, mungkin diantara lawatan itu ada yang benar, ada yg hanya kedok. Tapi, dari mana kita tahu mana yang benar mana yang kedok?  Sebetulnya hal itu bisa kita cermati dengan mengerti awal mulanya: bagaimana si program lawatan ini bisa ada dalam agenda kerja mereka. Gak mungkin kan pergi ke tempat ginian cuma direncanakan dalam sebulan. Semua orang yang pernah ngelola organisasi pasti tau ketika mau mengadakan kunjungan, itu seharusnya ada dalam Program Kerja yang telah diapprove di awal kepengurusan. Justru nih yah, harusnya kita awasi dari awal sini. Harusnya pengajuan rencana ini pun denga perencanaan dan proposal kan? Moso acara ginian insidentil sih. *keplaak* Entah emang saya yang kurang merhatiin ato dari DPR nya sendiri gak sosialisasiin, baik via berita atau media apapun. Tapi yang namanya program ini seharusnya transparansi dari awal.

Mengaca dari kejadian si kunjungan-kunjungan ini, harusnya sih mereka langsung mengklarifikasi secara DETAIL terkait dg kunjungan ini pada mass media. Gak cuman sekedar bilan "mau survei inih, titik" Lha... itu duit rakyat kan yang dipake? Intinya sih transparansi dari siapa aja, tujuan, agenda, dan ketika pulang, langsung kita tagih LAPORAN EVALUASI ACARA. Well, itu harus dipertangung jawabin ke seluruh indonesia loh.. *membayangkan 1 stasiun tv menyajikan LPJ DPR :))* Well, it's better than nothing at all.  Tah, kl gitu kan jelas, yg miring bisa dianggap miring, yang lurus bisa tetap dianggap lurus. Harusnya tugas PR (Public Relation) komisi per DPR nih... *eh, tapi mereka punya gak yah?*

Oh iya, kembali ke lawatan dan hubungannya dengan bencana di negeri ini. Seringkali sih saya mikir, ngapain juga orang-orang itu diminta pulang pas ada bencana (bukan karena mereka mending diusir skalian lho). Emang sih, kalau pulang dan mendatangi tkp korban bencana bisa dianggap simpati, but MEEENN, pleeasee, gak sekedar kunjungan doang yg dibutuhin, tapi aksi bukan? BAlik lagi jug ake soal perencanaan lawatan, bahkan mungkin ketika sebelum/mereka baru nyampe, sebanyak apa dana yg telah mereka spend. Hal ini jg bukan hal yang serta merta di cancel. Selain pertemuan, mungkinn sudah ada deal sesuatu yg tak bisa dibatalkan. Dan kalau di cancel terus uangnya ilang aja gituh? In bukan berbicara tentang 1-2 juta rupiah, ini ratusan juta/lebih. Belum biaya tambahan yg harus dikeluarkan karena mendadak di cancel. Hmm. Mending biaya kayak gitunya langsung disalurin ke korban deh daripada ngurus kepulangan mereka. Dan lagi pula, udah ada yg namanya teknologi buat kimuniasi mauupun koordinasi. Gitu aja kok repot. Kecuali memang dia punya jobdesc yg mewajibkan dia ada langsung di lokasi bencana si, ya silakan, tapi kalau cuman pulang hanya untuk menunjukan simpati, hey rakyat, BE LOGIC! Kaya gada staff yg ditinggal disini buat ngurusin sesuatu aja. Ibaratnya kita peduli pada korban bencana wasior, mentawai, etc, gak mesti kita menunjukan kepedulian dgn langsung datang kesana bukan? Ada yg kesana sih, tapi perwakilan. dan hal ini pun berlaku untuk bahasan di atas.

Yah, saya ngaku juga kalo saya telat dan menetapkan diri mulai sekarang menjadi lebih peduli dan kritis atas semua ini. MEngkritisi itu gak cuman bisa protes loh, tapi cerdas dan mengetahui landasannya dari berbagai angle, dan berbagai sumber, baik sebagai subjek, maupun objek.

Semoga kita semua menjadi lebih cerdas dalam mengkritisi .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun