Mohon tunggu...
Rahmat Yudistiawan
Rahmat Yudistiawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Hukum Keluarga Islam dan Pengurus Padepokan Syarhil Quran Lampung

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Urgensitas "Sekolah Keluarga"

15 Februari 2015   19:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:08 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tema yang saya bahas kali ini, bersumber dari gemelut dan kegelisahan hati yang mendalam akan pengalaman yang selama ini saya hadapi terus dan terus dihadapkan berupa pentingnya "sekolah keluarga"/family school. Yang saya maksud disini bukan program Home Schooling yang biasanya nih,,,para artis muda yang sibuk akan jam terbangnya tidak bisa belajar sebagaimana anak sekolahan mestinya, yang akhirnya mereka mengambil program pendidikan ini. Kayanya sih pencetus program ini kak seto sebagai pemerhati pentingnya pendidikan anak, kalo gak salah, hehe...

Hal di atas saya rasakan ketika saya dihadapi dengan problem pemahaman keluarga saya sendiri ketika diusia saya yang seminggu lebih 5 hari akan memasuki 22 tahun plus enam hari sebelumnya saya mendapatkan gelar dibelakang nama saya dari program studi hukum keluarga Islam (ciieeee...S.Sy). Bila dipikir-pikir, saya memang memperdalam jurusan hukum keluarga Islam bukan karena saya suka (falling in love) dengan program atau konsentrasinya, melainkan background yang mensifati hukum keluarga tersebut yaitu Islam-nya. Sebab semenjak saya SMP hingga 'Aliyah hanya pendidikan Islam-lah yang terus digodok melalui program boarding school selama 6 tahun. Mengapa tidak, sehingga selanjutnya saya tertarik untuk melanjutkan ke jenjang studi yang berbasis keislaman. Dibilang terlanjur tidak juga, dibilang takdir nya bisa juga, sebab kita husnuzhon saja, kita ambil hikmahnya, hehehe...

Berarti usia yang akan segera saya hadapi nanti menjadi tumpuan dan tahapan dalam hidup saya untuk melangkah lebih maju dan berfikiran lebih tinggi agar dapat menghadapi era globalisasi. Ini yang seharusnya menjadi perhatian lebih lanjut kedepan, terutama bagi para orang tua nih yang memiliki (bila merasa memiliki ya, sebab ada juga nih orang tua yang masa bodo, zaman gini apa yang gak, sering kita dengarkan berita anak dibuang dan ditelantarkan oleh orang tuanya, ya kan!?) anak diusia-usia seperti saya untuk ikut andil dalam history of live anaknya yang sedang mengejar cita-cita atau keinginan besarnya. Ingat, bukan sebagai "pemaksa" posisi dari orang tua disini, melainkan sebagai real orang tua, sebab passion anak apalagi ability anak tentunya berbeda bila orang tua tidak ikut andil sejak kecil. Memang ada istilah like son like father, namun menurut saya hanya segelintir orang tua saja lah yang (biasanya) mengajarkan dan mendidik anaknya untuk bisa seperti dirinya atau tidak jauh dari profesinya, contoh saja Kevin Aprilio anak dari Adde M.S., yang sama-sama berkecimpung dalam dunia musik, sungguh keluarga yang harmonis. Banyak lagi sebenarnya contoh yang ada, dalam kehidupan saya pun juga pernah bertemu langsung dengan anak dan orang tua nya memiliki hobby yang sama, bisa dilihat sekilas mungkin karena orang tuanya ikut andil dalam membimbing anaknya. Dari aspek itu saja, sudah terlihat betapa pentingnya bimbingan dan pengajaran orang tua kepada anak sebagai Madrasatul Ula (sekolah yang paling utama) dalam mengarahkan anak untuk menghadapi jenjang kehidupan sebagai manusia yang berguna.

Peran-peran penting orang tua seharusnya gencar dan ulet untuk terus disyiarkan oleh para pendakwah atau para guru apalagi sekarang banyak nih sekolah non-formal seperti pengajian atau majlis ibu-ibu khususnya, jangan hanya mensyiarkan pentingnya berakhlak baik untuk pribadinya saja sebab sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab "Keluarga adalah tulang punggung suatu negara", bila orang tua lebih mengutamakan dirinya dan masa bodo pada anaknya, mau kaya mana membangun keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah wong anaknya dibiarkan saja luntang lantung kaya orang pengangguran (sorry yang tersinggung, hehe...). Gimana gak muncul nih bibit-bibit dan virus-virus perusak bangsa dan negara, contohnya saja jujur agak miris dengernya, saya membaca sebuah berita yang saat ini sedang booming di daerah depok terkait pembegalan, waduuuhhhh...masa yang sudah tertangkap dari beberapa tersangka ternyata ada anak usia 18 tahun, itu kan masih SMA dan bakal bibit unggul sebagai pemuda harapan bangsa lah kok tega dan berani membunuh untuk hal yang murka dan durjana seperti itu demi mendapatkan harta yang jelas-jelas haram hukumnya. Ini mana orang tuanya, bapak mana,,,bapak mana,,,di manaaaaa?, mending kaya sony wak waw sekarang udah jadi pengusaha angkot bareng bang ochid, lah ini jalan hidupnya!?, Na'udzubillahi min...dzalik

Kita memang cukup elus-elus dada melihatnya dan perihatin dengan masalahnya, namun coba lah kita fikirkan dengan keras (tapi jangan sampe keras hati dan otaknya) masalah kesemrawutan akhlak ini sumbernya dari mana? introspeksi dan koreksi diri sangat penting dalam hal ini, sebab Allah pernah mengatakan innallaha la yughayyiru ma biqawmin hatta yughayyiru ma bianfusihim, Allah tidak akan mengubah sebuah bangsa kecuali ia introspeksi dan koreksi diri untuk mengubah dirinya sendiri. Jelas hal tersebut mengena kepada siapa saja terutama bagi orang tua jika ingin memiliki anak yang berguna bagi nusa dan bangsa, sebab keluarga itu ibarat negara kecil atau negara bagian (dari negaranya) lah bahasa enaknya yang akan memajukan pembangunan, kesejahteraan dan lain sebagainya. Kita bisa mencontohkan adat betawi dalam membangun sebuah keluarga yang mereka biasanya memikirkan tuh yang namanya tujuh turunan, entah dari mana asal dan datangnya istilah tersebut, namun dari hal tersebut kita bisa petik ilmunya bahwa mereka sebagai orang tua menerapkan peran penting dirinya dalam membangun keluarga tidak hanya sampai ke anak nya saja namun sampai ke cucu bahkan cicit-cicitnya ikut diperhatikan, mungkin muncullah istilah ini, bisa jadi seperti itu.

Terakhir yang ingin saya tekankan dalam tema ini, walaupun saya belum menjadi orang tua (tapi udah sok kaya orang tua, hehe...) peran penting "sekolah keluarga" yang di dalamnya ada bapak, ibu dan anak ibarat guru dan murid. Gurunya adalah bapak dan ibu sedangkan anaknya adalah muridnya. Kehidupan seorang anak bila kita lihat dan di kalkulasikan sementara lebih banyak berkecimpung di dalam keluarga itu sendiri (beda halnya yang dipesantrenkan atau yang sudah terpisah sejak kecil). Maka dari itu, anak akan maju bila orang tua nya ikut memajukan kehidupan anaknya, anak akan pintar bila orang tua mencerdaskan kehidupan anaknya dan anak akan berguna bagi nusa dan bangsa bila orang tuanya merasa ikut berperan penting bagi kemajuan bangsa dan negaranya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun