"Drrttt...drrttt...drrttt..." Notifikasi ponsel pagi itu membangunkanku. Tanganku mulai meraba-raba nakas untuk mencari dimana letak ponselku yang berisik. Setelah kuraih benda persegi panjang itu, kulihat jam menunjukkan pukul enam pagi. "Huh..." keluhku.
"Nanti jam tiga sore aku jemput ya, Dinda!" Pesan singkat itu berasal dari Iqbal, pacarku yang berencana mengajakku betemu untuk membicarakan suatu hal yang menurut kami sangat penting.
Setelah membaca pesan singkat itu, aku mencoba memejamkan mata dengan harapan dapat tidur beberapa menit lagi. Semalam aku dan pacarku berdebat melalui telepon sampai jam tiga pagi dan hal itu membuatku lelah hingga kurang tidur. Hubungan kami memang sedang renggang akhir-akhir ini karena kesibukan kami masing-masing.
Kami berdua berpacaran sejak kami menduduki bangku SMA hingga kini kuliah semester lima. Pada akhir semester ini, kami berdua mengalami masa dimana kami lelah dengan segala keadaan. Mulai dari tugas kuliah yang menumpuk dengan deadline yang berdekatan antara tugas satu dengan tugas lainnya, masalah keluarga, hingga masalah percintaan yang semakin lama semakin memudar karena kurangnya komunikasi.
"Kenapa?" Jawabku kamarin malam ketika Iqbal berkata bahwa dia ingin mengakhiri hubungan yang telah dijalani selama empat tahun.
"Aku tiba-tiba hilang rasa ke kamu Din." ungkapnya dengan suara lirih dan terdengar seperti orang yang menangis.
"Bukannya aku juga pernah mengalami hal itu ya? Tidak hanya hilang rasa, aku juga pernah merasa muak dan bosan padamu!" Dengan nada sedikit kesal kujelaskan kepada pacarku bahwa hal itu adalah hal biasa dalam hubungan.
"Tapi... ini beda Dinda..." Sangkalnya yang semakin membuatku kesal dan bertanya-tanya.
Mataku mulai berkaca-kaca seolah aku sudah tahu mau dibawa kemana arah hubungan ini. Pikiran semakin kacau, isi otak kemana-mana. Bahkan mau menangis pun sudah tak kuasa karena setiap hari sering berdebat dan menangis.
"Lalu apa bedanya? Udah ada cewek lain?" tanyaku tanpa basa-basi.