Menjelang sore, suasana Terminal Bungurasih masih saja terasa menyengat, hilir mudik manusia dan kegaduhan suara dari berbagai macam jenis aktifitas, mulai dari teriakan para calo, pedagang asongan, hingga pengamen yang mahir memainkan harmonika, menjadikan suasana terminal semakin berwarna.
Aku bergegas menuju bus dengan tujuang Yogyakarta dan mengabaikan beberapa panggilan dari para calo. Aku langsung mengambil tempat duduk di kursi yang berderet dua di bagian depan yang kebetulan masih kosong. Aku berharap tidak ada yang mengisi satu kursi kosong di sampingku, karena kotak dan ransel yang ku bawa telah cukup menyesaki tempatku duduk.
Suasana bus tanpa AC menjadikan suasana tambah panas, beberapa pedagang asongan menaiki bus dan menawarkan air minum dingin.
"Ada yang enggak dingin mas?" tanyaku. Aku memang berusaha untuk menghindari air dingin, yang menurutku kurang baik untuk kesehatan, walaupun dengan cuaca yang panas, air dingin tentu lebih menggoda kerongkongan.
"Enggak ada mas," Jawab pedagang tersebut singkat.
Tiga orang pengamen naik, pedagang asongan segera bergeser tempat ke belakang. Pengamen itu segera memainkan alat musiknya, seorang memetik gitar, seorang memainkan harmonika dan seorang lagi menabuh gendang kecil, mereka bernyanyi bersama. Berbeda dengan pengamen-pengamen yang pernah ku lihat, kelompok pengamen ini cukup kreatif dengan syair lagu yang cukup menarik.
Aku mencatat beberapa bait lyriknya...
Lihatlah negeri kita//Yang subur dan kaya raya//Sawah ladang terhampar luas//Samudera biru//Tapi lihatlah negeri kita//Yang tinggal hanyalah cerita//Cerita dan cerita, terus cerita…
Pengangguran merebak luas//Kemiskinan merajalela//Pedagang kaki lima tergusur teraniaya//Bocah-bocah kecil merintih//Menghabiskan waktu di jalanan//Buruh kerap dihadapi penderitaan//Inilah negeri kita//Alamnya kelam tiada berbintang//Dari derita dan derita menderita…
Sampai kapankah derita ini//Yang kaya darah dan air mata//Yang senantiasa mewarnai bumi pertiwi
Dinodai//Dikangkangi//Dikuasai//Dijajah para penguasa rakus