Sejak pagi, kesibukan mulai terlihat di rumahku. Semua saudaraku berkumpul dan kelihatan sibuk dengan pekerjaan masing-masiang, suasana begitu sangat ramai seperti hendak menggelar pesta. Emak terlihat paling sibuk, mondar-mandir halaman belakang rumah dan dapur, sekedar mengambil belimbing wulung atau serai untuk kemudian berkonsentrasi di dapur.
Begitulah tradisi dalam keluargaku, jika salah satu dari anggota keluarga hendak pergi jauh dalam beberapa waktu yang lama. Emak akan menyiapkan semua makanan yang paling disukai oleh anggota keluarga yang akan pergi tersebut, dan semua sanak kerabat akan berkumpul, minimal sehari sebelum keberangkatannya.
"Pelepasan yang sebenarnya justeru membuatku berat untuk pergi.." Aku membatin sambil menyaksikan kesibukan keluargaku.
Aku sebenarnya dilepas tidak hanya sekali ini, dulu sewaktu pertama kali hendak nyantri di pesantren, Emak juga sibuk menyiapkan makanan yang paling aku suka, sehari sebelumnya. Meski tak semua makanan itu bisa ku makan, tapi Emak pasti memintaku untuk mencicipi semuanya.
"Ketika di rantau, kamu pasti susah mendapatkan makanan yang enak, dan pasti susah mencari makanan seperti makanan hasil masakan emak," begitulah Emak biasanya beralasan.
Benar, masakan Emak memang paling istimewa, hingga kini aku belum pernah menemukan ada makanan yang melebihi nikmat dan lezatnya masakan Emak.
Malam sebentar lagi tiba, aku bergegas mandi sebelum gelap menyergap pulau kami yang tak teraliri listrik. Aku menimba air dan memenuhi beberapa bak di halaman sumur, Enci sibuk membersihkan dan mengisi minyak tanak ke lampu petromak yang lama tak terpakai.
Anak laki-laki berlarian menuju Langgar, berlomba dan berebut mic untuk mengumumkan waktu Magrib akan segera tiba, dan biasanya akan diteruskan dengan membaca al Quran oleh remaja laki-laki.
Selepas shalat magrib di Langgar biasanya para laki-laki di pulauku tak pulang ke rumah hingga selesai isya', ada yang mengaji, dan beberapa yang lain mengobrol.
Beberapa orang tua menghampiriku. Warga pulau itu rata-rata adalah saudara Enci. Ada Uwak Mamang, Embo Ahing, dan beberapa yang lain, termasuk Oweku.
"Hati-hati di negeri orang nak, pandai-pandailah membawa diri..." Uwak Mamang membuka pembicaraan.